MURIDNYA
GURU BUKAN MURIDNYA BUKU
Oleh: Yanti & Luthfi
A.
PENDAHULUAN
Dalam proses mengkaji tetang
muridnya guru, bukan muridnya buku, maka di antara kesalaha[1]n
paling mendasar yang di lakukan oleh sebagian da’i muda adalah mengambil nash
Al- Quran maupun hadits secara langsung dan berguru hanya kepada buku, tanpa
mau merujuk pada orang alim yang membidangi hal itu.
Atau merajuk pada seorang da’i yang
ahli, yang bisa menjelaskan kepadanya tetang kesulitan-kesulitan yang di
hadapi, berupa pemahaman dan segala sesuatu yang tidak dipahami entah berupa
fiqih atau lainnya.
B.
PEMBAHASAN
Di antara kesalahan paling mendasar
yang di lakukan oleh sebagian da’i muda adalah mengambil nash Al- Quran maupun
hadits secara langsung dan berguru hanya kepada buku, tanpa mau merujuk pada
orang alim yang membidangi hal itu.
Atau merajuk pada seorang da’i yang
ahli, yang bisa menjelaskan kepadanya tetang kesulitan-kesulitan yang di
hadapi, berupa pemahaman dan segala sesuatu yang tidak dipahami. Entah berupa
fiqih atau lainnya dengan alasan firman Allah Swt,
ÌøgrB $uZÏ^ãôãr'Î/ [ä!#ty_ `yJÏj9 tb%x. tÏÿä. ÇÊÍÈ
Artinya
: Yang
berlayar dengan pemeliharaan Kami sebagai belasan bagi orang-orang yang
diingkari (Nuh).
Mengenai
makna ayat ini para ulama berkata, artinya, sungguh kami ( Allah ) telah
memudahkan Al-Quran untuk di hafal dan di renungkan serta dijadikan sebagai
pelajaran, karena didalamnya terkandung berbagai nasehat dan pelajaran.
Dari
makna tersebut jelaslah ,bahwa alquran itu mudah dihafal dan dibaca,demikianlah
juga mudah direnungkan dan dipelajaribagi siapa saja yang mengambil
sebab-sebabnya (ilmunya)serta memberikan apa yang menjadikan haknya ,yaitu
dengan mengambil ilmu dari para ulama figh dan ulama yang ahli amal yang bisa
dijadikan teladan bagi manusia dengan perilakunya ,sebelum mereka mengajarkan
ilmunya.
1.
Bersama
Para Sahabat
Mereka itulah para sahabat Nabi
yang mulia. Al-Quran di turunkan dengan bahasa mereka, tetapi mereka telah
kembali kepada Rasulullah Saw. Setiap kali hendak memahami Al-Quran tetang
apa-apa yang mereka angap sulit, sebagai mana yang pernah terjadi pada diri
Aisyah r.a ketika mendengar Rasulullah Saw Bersabda,
“ Barang siapa yang
hisap, maka akan di siksa.”Aisyah bertanya, bukankah Allah Ta ala berfirman,
lalu, ia akan di hisap dengan hisap yang ringan ?” Rasulullah Saw . menjawab, “
itu hanyalah ungkapan. Barang siapa yang di hisab akan di siksa.” (HR Bukhari
Muslim)
Dalam hadits lain di sebutkan,
bahwa Rasulillah Saw. Bersabda, “ sesungguhnya allah akan mendekatkan hambanya
pada hari kiamat, sehinga dia meletakkannya, lalu Allah berkata, ” Engkau
berbuat begini dan begitu” kemudian menghitung dusa- dosanya, lalu Allah
berkata kepadanya” Aku telah menutupinya untukmu di dunia, dan hari ini aku
mengampuninya. Inilah yang di maksud dengan hisaban yasiran ( hisab yang
ringan).
Sebagian sahabat merasa takut dengan
turunnya firman Allah Swt,
tûïÏ©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=t OßguZ»yJÎ) AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrßtGôgB ÇÑËÈ
Artinya : Orang
– orang yang beriman dan mencampur
adukkan iman mereka dengan ke zaliman, merekalah orang- orang yang mendapat
keamanan dan mereka itulah orang- orang yan mendapat petunjuk (
QS. Al An’am” 82 ).
Kemudian
mereka berkata,” adakah di antara kita yang tidak pernah berbuat zalim tehadap
dirinya ?” Nabi Saw bersabda, “ ( itu ke zaliman ) bukan seperti yang mereka
kira. Maksudnya adalah sebagai mana yang telah dikatakan oleh luqman kepada
anaknya,
øÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏèt ¢Óo_ç6»t w õ8Îô³è@ «!$$Î/ ( cÎ) x8÷Åe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOÏàtã ÇÊÌÈ [2]
Artinya
: Wahai anakku, sesungguhnya syirik ( menyekutukan Allah ) itu sungguh
merupakan kezaliman yang besar (QS
Luqman:
13).
Dengan
demikian, Rasulullah Saw.menafsirkan kezaliman dalam ayat 82 surat Al-An’Am di
atas dengan “ syirik”. Seandainya tidak ada penjelasan dari Rasulullah Saw.ini,
niscaya para sahabat memahaminya secara keliru. Karena penafsirannya diambil
dari penafsiran mereka sendiri.
Pertanyaan
para sahabat tetang ayat-ayat seperti diatas seringkali dilontarkan. Dan
Rasulullah Saw.telah menjelaskan kepada mereka bahwa Shalat wustha adalah
shalat asyar. Kemudian yang dimaksud dengan”alqausar” adalah sungai yang diberikan
oleh Allah kepada NabI erkata, Saw.di surga nanti. Yang dimaksud dengan
alquah”adalah ketepatan dalam memanah. Yang dimaksud dengan “Al-Haj Al-akbar “
adalah hari nahal dan menyembelih kurban. Yang dimaksud dengan kalimat
taqwa”adalah La ils ha illallah.
Dengan
demikian dapat disimpulkan,bahwa meskipun para sahabat itu memahami bahasa
arab,bahkan mereka pakar dalam hal itu,tetapi
mereka tetap memerlukan orang yang bisa menafsirkan untuk mereka apa
–apa yang mereka pahami secara keliru melalui ijtihadnya.
Oleh
karena itu, pemahaman para sahabat terhadap Al Quran beragam, sesuai dengan
tingkatan keilmuan masing masing berdasarkan apa yang mereka pahami dari
Rasulullah Saw.
2.
Memuliakan
Ahli Ilmu
Di anntara berkah ilmu adalah menyandarkan
ilmu itu kepada ahlinya. Apa bila seorang da’i berkata “fulan berkata
demikian,” dengan menyebutkan gurunya, maka ini merupakan suatu berkah yang
tidak di ragukan. Karena tidak ada satu pun Iman kecuali telah menyandarkan apa
yang telah dikatakannya kepada syaikhnya, sebagaimana dilakukan oleh Iman Abu hanifah, malik syafi’i dan Ahmad bin
Hanbal. Bahkan para sahabat juga mennyandarkan apa yang mereka ucapkan kepada
pemiliknya, yaitu Rasulullah Saw.
Dalam kitab-kitabnya Ibnul Qaiyim
sering menyebut kata “Syaikhuna” (syaikh kami). Maksudnya adalah Ibnu
Taimiyyah. Karenanya, tidak ada seorang pun yang mencelanya dan tidak ada yang
mengatakan bahwa Ibnu Qayyim telalu berlebihan. Bahkan kata tersebut lebih
banyak daripada kalimat “qala Rasulullah”.
Oleh karena itu, seorang da’i wajib
mengajarkan kepada objek dakwahnya bagaimana menghormati orang- orang yang
memiliki sepesialisasi ilmu dari kalangan ulama. Karena tiap-tiap ilmu itu ada
ahlinya, dan setiap bidang itu ada spesialisnya. Karena itu, memperbincangkan
ilmu syari’at di antara sembarang orang dengan alasan bahwa islam itu tidak
mengenal desriminasi tokoh orang sebagaimana yang ada pada agama- agama selain
islam, maka hal itu tidak di bolehkan.
Memang, islam tidak mengenal adanya kelompok tokoh
agama(rijal ad-din), tetapi islam mengenal adanya orang-orang alim dalam
masalah agama (ulama’ ad-did), sebagaimana di debutkan dalam firman Allah Swt.
* $tBur c%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuÏ9 Zp©ù!$2 4 wöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuÏj9 Îû Ç`Ïe$!$# (#râÉYãÏ9ur óOßgtBöqs% #sÎ) (#þqãèy_u öNÍkös9Î) óOßg¯=yès9 crâxøts ÇÊËËÈ
Artinya : Tidak sepatutnya bagi mukminin
itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(QS.
At-Taubah: 122)
Sungguh,
Al-Quran dan sunah telah mengajarkan kepada kita agar kita mengembalikan
apa-apa yang kita tidak tahu kepada orang-orang yang alim (ahl adz-dzikr),
sebagaimana firman Allah, fas’ alu ahladz dzikiri in kuntum la ta’lamun.
Artinya “bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidan mengetahui”.
3.
Harus
Memahami
Kadang-kadang, ada diantara da’i
yang pandai berbicara, berpidato de,dan mampu mempengaruhi khalayak umum, atau
bahkan pidatonya bisa mengetarkan hati manusia. Namun semua itu tidak berarti
ia termasuk ahli ilmu, sehingga bisa memberikan legitimasi pada dirinya
untuk berfatwa .kalau dia nekat berfatwa
,maka dia telah mengeluarkan fatwa dengan mengumpulkan kotoran hewan dan madu
.dia mencampur-adukkan antara yang murni dengan imitasi dan membaurkan antara hakikat
dengan khurafat.
Yang terjadi kemudian dia sendiri
tersesat dan menyesatkan. Mereka juga sering mencampur adukkan skala prioritas,
mengangap besar yang kecil dan mengangap cecil yang besar. Orang yang hina di
agungkan dan orang yang besar di hinakan. Celakanya khalayak seringkali dibuat
tertarik dan yakin dengan gaya bicaranya yang menarik dan keterangan yang
mengukau, seakan-akan orang seperti dia pantas di ambil ilmunya dan di jadikan
guru.
Ketika mengutus para sahabat ke
berbagai penjuru untuk menyampaikan dakwah, Rasulullah Saw. Para da’i yang di
utus telah memiliki bekal ilmu dan wara’, sikap istikomah dan merasa takut
kepada Allah, memiliki daya hafalan yang baik, kemampuan akurat dalam mengambil
kesimpulan hukum (beristimbath), serta konsisten terhadap apa yang mereka
fatwakan. Ibnu mas’ut berkata,” bukanlah
ilmu itu di tentukan oloh banyaknya hadits, akan tetapi oleh banyaknya rasa
takut kepada Allah.
Demikianlah Rasulullah Saw.ketika
jibril bertanya kepadanya tentang kiamat sebagai mana di sebutkan dalam sebuah
hadits beliau menjawab,” tidaklah yang ditanya tentang kiamat itu lebih
mengetahui daripada yang bertanya” Imam Nawawi r.a berkata” berdasarkan hadits
ini maka di ambil kesimpulan bahwa orang alim apa bkila ditanya tentang sesuatu
yang tidak di ketahuinya, maka ia harus berterus terang bahwa ia tidak
mengetahuinya. Sikap demikian tidak akan megurangi martabatnya, bahkan itu
menjadi bukti atas sifat wara’nya.”
Pendidikan itu membutuhkan fiqih
yang mendalam. Mustahil seorang da’i memperoleh pemahaman yamg mendalam apa
bila ia hanya menjadi muridnya buku, atau hanya mengumpulkan tulisan-tulisan
dan menghafal isinya kalau ia ingin memiliki pemahaman yang benar, dia harus
berhadapan dengan seorang guru yang membimbingnya. Dalam pepatah di katakan
“barang siapa yang hanya berguru pada buku, maka kesalahannya lebih banyak dari
pada benarnya.”
Oleh karena itu, murid-murid hasan
Albana berguru pada beliau. Beliau mengajarkan kepada mereka pemahaman yang
fleksibel (fiqih murunah) dalam beharakah. Akhirnya, dakwah mereka sampai
ditimur dan barat, dengan semboyan,” Allah adalah tujuan kami, Rasulullah
adalah tauladan kami, Al-Quran adalah undang-undang kami, jihad adalah jalan
kami dan mati dijalan Allah adalah cita-cita tertinggi kami. “
4.
Menentukan
Pemahaman
Menentukan pemahaman termasuk
masalah penting yang dapat merekatkan umat islam dalam suatu ikatan. Seorang
muslim tidak mungkin memperoleh pemahaman itu hanya dari lembaran – lembaran
yang dia baca, melainkan harus melalui proses belajar kepada seorang guru yang
membimbingnya. Ayat - ayat Allah itu tidak dipahami kecuali oleh orang – orang
yang alim. Karena itu mereka menjadi manusia yang takut kepada Allah. Oleh
sebab itu para sahabat merasa senang mengambil ilmu dari Rasulullah Saw.atau
dari orang yang telah belajar langsung dengan beliau.
Para sahabat Nabi selalu memuliakan ulama, sebagaimana yang pernah
dilakukan oleh Ibnu Abbas r.a. berkata, “sesungguhnya diantara hak orang alim
yang wajib kamu tunaikan adalah hendaknya engkau memberi ucapan salam kepada
manusia secara umum dan mengkhususkannya dengan penghormatan. Ketika engkau
berada dihadapannya, engkau tidak boleh menolongnya dalam menjawab dan mencari-cari
kekurangannya. Jika ia bersalah, maka maafkanlah. Jangan sekali - kali kamu
mengatakan kepadanya, saya mendengar sifulan berkata demikian, “atau”pendapat
Si Fulan berkata demikian,” atau “pendapat Si Fulan berbeda dari pendapatmu.” Janganlah sekli – kali engkau menyifati orang alim di
sisi – sisinya, karena orang alim itu bagaikan pohon kurma. Engkau menungu saat
jatuhnya kurma itu padamu.
Oleh karena itu, penghormatan kepada orang-orang alim itu sangat penting
dan harus diperhatikan. Sa’id bin sumarah bin jundub berkata, “ dahulu,tatkala
saya masih kanak- kanak dan saat saya belajar dari Rasullullah Saw, tidak ada
yang menghalangiku dari berbicara, kecuali disana ada orang-orang yang lebih
tua dariku .”(mutafun ‘alaih).
Dari Abdullah bin amr
bin ash r.a ia berkata bahwa dia mendengar rasullullah Saw bersabda: “Sesungguhnya
Allah tidak mengambil ilmu dengan (cara)
dicabut ilmu itu dari manusia , akan tetapi
dia mencabut ilmu dengan mencabut
(nyawa) para ulama. Sehingga ketika tidak ada lagi orang yang alim, maka
manusia akan mengangkat para pemimpin yang bodoh. Ketika mereka ditanya, mereka
memberikan fatwa dengan tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan”. (mutafaqun
‘alaih).
Adakah yang lebih bodoh dari pada orang yang berdiri
didepan untuk mendakwahi manusia kejalan (agama) Allah, sementara dia memahami
Islam sebagai agama yang hanya berisi
ibadah tanpa qiyadah ( kepemimpinan), syi’ar tanpa syari’at sistem nilai
tanpa jihad sehingga banyak orang yang mengingkari bahwa islam adalah agama
jama’ah (din,al jama’at). Mereka mengatakan bahwa agama hanyalah sebagai sarana kebaikan jiwa dan
pembersihan hati. Agama tidak kaitanya dengan urusan kemasyarakatan .Padahal,
kehidupan brjmaah itulah yang mampu melindungi mereka [3]dari
srigala yang hendak memangsa , memperkuat eksistensinya dan ikut serta dalam
menyelsaikan persoalan-persoalan individu yang ada didalamnya, agar mereka
semua mampu menegakkan hukum Allah di muka bumi ini.
Ibnu Taimiyyah menjadikan
ikatan ukhuwah setara dengan ikatan keimanan , karena hanya dengan ikatan
ukhuwah itulah syari’at Allah bisa ditegakkan. Ada kaidah ushul yang berbunyi,
“sesuatu yang tidak sempurna suatu keeajiban kecuali denganya, maka sesuatu itu
menjadi wajib”.
Sungguh bodoh orang-orang yang
menjadikan islam sebagai pedang yang terhunus diatas pundak para budak. Mereka
tidak mengenal hikmah dalam berbicara, nasehat dalam berdakwa, serta mujadallah
dengan cara yang lebih baik. Mereka mengira bahwa islam itu ditgakkan dengan
pedang. Mereka tidak bisa membedakan antara sewenang-wenang dalam kekuasaan
dengan ketegasan dalam upaya menegakkan syariat Allah di muka bumi.
Untuk mencapai tujuan itu
dibutuhkan pembinaan generasi melalui tahap – tahap yang panjang. Mulai dari
fase pengenalan, penyucian diri, penyeleksian sampai fase penanaman aqidah yang
mewujudkan para da’I yang sejati atau pilar-pilar dakwah (rijal ad-da’wah).
Yaitu orang-orang yang apa bia melihat musuh Islam bersekongkol untuk memusuhi
mereka, maka mereka berkata, “inilah yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-nya,dan maha benr Allah dan
Rasul-nya.” Hal itu tidak menambah mereka kecuali keimanan dan pencerahan diri.
Nilai-nilai luhur inilah yang
telah menempa para aktivis yang menjadi pilar dakwah generasi pertama di
rumah-rumah Allah; rumah-rumah dimana Allah telah mengizinkan mereka untuk
mengumandangkan nama-namanya dan selalu bertasbih kepada-nya di rumah-rumah itu
di pagi maupun di petang hari. Mereka adalah komunitas orang yang tidak
disibukkan oleh perniagaan dan jual beli dari berzikir kepada Allah. Mereka
mendirikan sholat, menunaikan zakat dan takut kepada suatu hari dimana hati dan
mata manusia terguncang.
Oleh karena itu, seorang da’I
wajib menjelaskan kepada objek dakwahnya tentang pentingnya menimba ilmu dari
orang yang alim, atau da’I yang cerdik, memahami dakwahnya dan memahami
manhajnya. Karena pada prinsipnya, orang yang tidak memiliki sesuatu tidak
mungkin bisa memberi sesuatu. Islam itu menerima dan memberi (take in give).Di
situ bertemu antara guru dan merid. Keduanya bagaikan tangan yang saling membasuh
antara satu dengan yang lainnya.
5.
Belajar dari Orang Yang
Berpengalaman
Belajar dari orang-orang yang berpengalaman (khibrah) dan pengetahuan
bisa memelihara diri dari kesesatan. Beramal dalam suasana jauh dari mereka
itulah yang memicu sikap tergesa untuk memetik hasil. Karena manusia dilahirkan
dalam keadaan bodoh, tidak memiliki ilmu sedikit pun, sebagaimana di jelaskan
oleh Allah Swt,
¨bÎ) /u ÓÅÓø)t NæhuZ÷t/ ¾ÏmÏJõ3çt¿2 4 uqèdur âÍyêø9$# ÞOÎ=yèø9$# ÇÐÑÈ
Artinya : Dan Allah telah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu, sedangkan kamu tidak memiliki sesuatu (An-Naml: 78).
Kemudian manusia memulai
langkah dari media yang diberikan oleh Allah kepadanya, yaitu pendengaran,
penglihatan dan hati. Oleh karnanya proses belajar mengajar itu tidak hanya
dari kitab atau buku-buku saja, tetapi harus di sempurnakan melalui eksperimen
dan latihan.
Seorang aktivis yang paham
adalah orang yang mau mengambil pelajaran dari pengalaman dan berbagai
eksperimen yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Hai ini jauh lebih
efektif dan efisien daripada dia harus memulai segala sesuatunya dari awal.
Adapun orang-orang yang sombong dan menjauhkan dirinya dari orang-orang yang memiliki
pengalaman serta ilmu, dia pasti akan menemui kesalahan-kesalahan.
Keberuntungan itu dengan
memetik buah pengalaman orng lain dan pengetahuanya sepanjang jalan hidup yang
telah mereka lalui. Karena manusia itu seringkali memberi orang yang tidak dikenal
haknya, dan bakhil terhadap orang yang mengancam hak dan tidak memeliharanya.
Demikianlah apabila seorang
da’I menjadi merid seorang imam dalam masalah fiqih dan haraqah, pengetahuan
dan pengalaman, nantinya ia akan bisa memberikan apa yang pernah dia peroleh
dari guru-gurunya kepada orang-orang yang mereka dakwahi, sehingga terwujudlah dakwah
yang benar dengan pamahaman yang detail. Dengan demikian, dakwah akan
melariskan baraqah serta menebarkan hidayah.
C. PENUTUP
Sekian
dari makalah kami untuk itu kami akan sangat senang sekali bila pembaca mau
memberikan kritikan dan saran yang membangun demi kemajuan makalah kami
kedepannya atas kritik dan sarannya kami ucapkan erima kasih
DAFTAR BACAAN
Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fikih Dakwah,surkarta: er
intermedia, 2005. Hal 384
DR. H. SALMADANIS, MA,filsafat dakwah, iain imam
bonjol press, cet. 1 padang 1999
Http:// toko buu sahari. Buqsome com/.suluk.bloqsome.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar