Rabu, 17 Juni 2015

fiqih dakwah

MURIDNYA GURU BUKAN MURIDNYA BUKU
Oleh: Yanti & Luthfi

A.       PENDAHULUAN
Dalam proses mengkaji tetang muridnya guru, bukan muridnya buku, maka di antara kesalaha[1]n paling mendasar yang di lakukan oleh sebagian da’i muda adalah mengambil nash Al- Quran maupun hadits secara langsung dan berguru hanya kepada buku, tanpa mau merujuk pada orang alim yang membidangi hal itu.
Atau merajuk pada seorang da’i yang ahli, yang bisa menjelaskan kepadanya tetang kesulitan-kesulitan yang di hadapi, berupa pemahaman dan segala sesuatu yang tidak dipahami entah berupa fiqih atau lainnya.

B.        PEMBAHASAN
Di antara kesalahan paling mendasar yang di lakukan oleh sebagian da’i muda adalah mengambil nash Al- Quran maupun hadits secara langsung dan berguru hanya kepada buku, tanpa mau merujuk pada orang alim yang membidangi hal itu.
Atau merajuk pada seorang da’i yang ahli, yang bisa menjelaskan kepadanya tetang kesulitan-kesulitan yang di hadapi, berupa pemahaman dan segala sesuatu yang tidak dipahami. Entah berupa fiqih atau lainnya dengan alasan firman Allah Swt,
̍øgrB $uZÏ^ãôãr'Î/ [ä!#ty_ `yJÏj9 tb%x. tÏÿä. ÇÊÍÈ    
Artinya : Yang berlayar dengan pemeliharaan Kami sebagai belasan bagi orang-orang yang diingkari (Nuh).
Mengenai makna ayat ini para ulama berkata, artinya, sungguh kami ( Allah ) telah memudahkan Al-Quran untuk di hafal dan di renungkan serta dijadikan sebagai pelajaran, karena didalamnya terkandung berbagai nasehat dan pelajaran.
Dari makna tersebut jelaslah ,bahwa alquran itu mudah dihafal dan dibaca,demikianlah juga mudah direnungkan dan dipelajaribagi siapa saja yang mengambil sebab-sebabnya (ilmunya)serta memberikan apa yang menjadikan haknya ,yaitu dengan mengambil ilmu dari para ulama figh dan ulama yang ahli amal yang bisa dijadikan teladan bagi manusia dengan perilakunya ,sebelum mereka mengajarkan ilmunya.

1.         Bersama Para Sahabat
Mereka itulah para sahabat Nabi yang mulia. Al-Quran di turunkan dengan bahasa mereka, tetapi mereka telah kembali kepada Rasulullah Saw. Setiap kali hendak memahami Al-Quran tetang apa-apa yang mereka angap sulit, sebagai mana yang pernah terjadi pada diri Aisyah r.a ketika mendengar Rasulullah Saw Bersabda,
“ Barang siapa yang hisap, maka akan di siksa.”Aisyah bertanya, bukankah Allah Ta ala berfirman, lalu, ia akan di hisap dengan hisap yang ringan ?” Rasulullah Saw . menjawab, “ itu hanyalah ungkapan. Barang siapa yang di hisab akan di siksa.” (HR Bukhari Muslim)  

Dalam hadits lain di sebutkan, bahwa Rasulillah Saw. Bersabda, “ sesungguhnya allah akan mendekatkan hambanya pada hari kiamat, sehinga dia meletakkannya, lalu Allah berkata, ” Engkau berbuat begini dan begitu” kemudian menghitung dusa- dosanya, lalu Allah berkata kepadanya” Aku telah menutupinya untukmu di dunia, dan hari ini aku mengampuninya. Inilah yang di maksud dengan hisaban yasiran ( hisab yang ringan).
Sebagian sahabat merasa takut dengan turunnya firman Allah Swt,
tûïÏ©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=tƒ OßguZ»yJƒÎ) AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrßtGôgB ÇÑËÈ  
Artinya : Orang – orang yang beriman dan mencampur adukkan iman mereka dengan ke zaliman, merekalah orang- orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang- orang yan mendapat petunjuk ( QS. Al An’am” 82 ).

Kemudian mereka berkata,” adakah di antara kita yang tidak pernah berbuat zalim tehadap dirinya ?” Nabi Saw bersabda, “ ( itu ke zaliman ) bukan seperti yang mereka kira. Maksudnya adalah sebagai mana yang telah dikatakan oleh luqman kepada anaknya,

øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8ÎŽô³è@ «!$$Î/ ( žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ [2]
Artinya : Wahai anakku, sesungguhnya syirik ( menyekutukan Allah ) itu sungguh merupakan kezaliman yang besar (QS Luqman: 13).

Dengan demikian, Rasulullah Saw.menafsirkan kezaliman dalam ayat 82 surat Al-An’Am di atas dengan “ syirik”. Seandainya tidak ada penjelasan dari Rasulullah Saw.ini, niscaya para sahabat memahaminya secara keliru. Karena penafsirannya diambil dari penafsiran mereka sendiri.
Pertanyaan para sahabat tetang ayat-ayat seperti diatas seringkali dilontarkan. Dan Rasulullah Saw.telah menjelaskan kepada mereka bahwa Shalat wustha adalah shalat asyar. Kemudian yang dimaksud dengan”alqausar” adalah sungai yang diberikan oleh Allah kepada NabI erkata, Saw.di surga nanti. Yang dimaksud dengan alquah”adalah ketepatan dalam memanah. Yang dimaksud dengan “Al-Haj Al-akbar “ adalah hari nahal dan menyembelih kurban. Yang dimaksud dengan kalimat taqwa”adalah La ils ha illallah.
Dengan demikian dapat disimpulkan,bahwa meskipun para sahabat itu memahami bahasa arab,bahkan mereka pakar dalam hal itu,tetapi  mereka tetap memerlukan orang yang bisa menafsirkan untuk mereka apa –apa yang mereka pahami secara keliru melalui ijtihadnya.
Oleh karena itu, pemahaman para sahabat terhadap Al Quran beragam, sesuai dengan tingkatan keilmuan masing masing berdasarkan apa yang mereka pahami dari Rasulullah Saw.

2.         Memuliakan Ahli Ilmu
Di anntara berkah ilmu adalah menyandarkan ilmu itu kepada ahlinya. Apa bila seorang da’i berkata “fulan berkata demikian,” dengan menyebutkan gurunya, maka ini merupakan suatu berkah yang tidak di ragukan. Karena tidak ada satu pun Iman kecuali telah menyandarkan apa yang telah dikatakannya kepada syaikhnya, sebagaimana dilakukan oleh Iman  Abu hanifah, malik syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Bahkan para sahabat juga mennyandarkan apa yang mereka ucapkan kepada pemiliknya, yaitu Rasulullah Saw.
Dalam kitab-kitabnya Ibnul Qaiyim sering menyebut kata “Syaikhuna” (syaikh kami). Maksudnya adalah Ibnu Taimiyyah. Karenanya, tidak ada seorang pun yang mencelanya dan tidak ada yang mengatakan bahwa Ibnu Qayyim telalu berlebihan. Bahkan kata tersebut lebih banyak daripada kalimat “qala Rasulullah”.
Oleh karena itu, seorang da’i wajib mengajarkan kepada objek dakwahnya bagaimana menghormati orang- orang yang memiliki sepesialisasi ilmu dari kalangan ulama. Karena tiap-tiap ilmu itu ada ahlinya, dan setiap bidang itu ada spesialisnya. Karena itu, memperbincangkan ilmu syari’at di antara sembarang orang dengan alasan bahwa islam itu tidak mengenal desriminasi tokoh orang sebagaimana yang ada pada agama- agama selain islam, maka hal itu tidak di bolehkan.
Memang, islam  tidak mengenal adanya kelompok tokoh agama(rijal ad-din), tetapi islam mengenal adanya orang-orang alim dalam masalah agama (ulama’ ad-did), sebagaimana di debutkan dalam firman Allah Swt.
* $tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts ÇÊËËÈ

Artinya : Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(QS. At-Taubah: 122)

Sungguh, Al-Quran dan sunah telah mengajarkan kepada kita agar kita mengembalikan apa-apa yang kita tidak tahu kepada orang-orang yang alim (ahl adz-dzikr), sebagaimana firman Allah, fas’ alu ahladz dzikiri in kuntum la ta’lamun. Artinya “bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidan mengetahui”.

3.         Harus Memahami
Kadang-kadang, ada diantara da’i yang pandai berbicara, berpidato de,dan mampu mempengaruhi khalayak umum, atau bahkan pidatonya bisa mengetarkan hati manusia. Namun semua itu tidak berarti ia termasuk ahli ilmu, sehingga bisa memberikan legitimasi pada dirinya untuk  berfatwa .kalau dia nekat berfatwa ,maka dia telah mengeluarkan fatwa dengan mengumpulkan kotoran hewan dan madu .dia mencampur-adukkan antara yang murni dengan imitasi dan membaurkan antara hakikat  dengan khurafat.
Yang terjadi kemudian dia sendiri tersesat dan menyesatkan. Mereka juga sering mencampur adukkan skala prioritas, mengangap besar yang kecil dan mengangap cecil yang besar. Orang yang hina di agungkan dan orang yang besar di hinakan. Celakanya khalayak seringkali dibuat tertarik dan yakin dengan gaya bicaranya yang menarik dan keterangan yang mengukau, seakan-akan orang seperti dia pantas di ambil ilmunya dan di jadikan guru.
Ketika mengutus para sahabat ke berbagai penjuru untuk menyampaikan dakwah, Rasulullah Saw. Para da’i yang di utus telah memiliki bekal ilmu dan wara’, sikap istikomah dan merasa takut kepada Allah, memiliki daya hafalan yang baik, kemampuan akurat dalam mengambil kesimpulan hukum (beristimbath), serta konsisten terhadap apa yang mereka fatwakan.  Ibnu mas’ut berkata,” bukanlah ilmu itu di tentukan oloh banyaknya hadits, akan tetapi oleh banyaknya rasa takut kepada Allah.
Demikianlah Rasulullah Saw.ketika jibril bertanya kepadanya tentang kiamat sebagai mana di sebutkan dalam sebuah hadits beliau menjawab,” tidaklah yang ditanya tentang kiamat itu lebih mengetahui daripada yang bertanya” Imam Nawawi r.a berkata” berdasarkan hadits ini maka di ambil kesimpulan bahwa orang alim apa bkila ditanya tentang sesuatu yang tidak di ketahuinya, maka ia harus berterus terang bahwa ia tidak mengetahuinya. Sikap demikian tidak akan megurangi martabatnya, bahkan itu menjadi bukti atas sifat wara’nya.”
Pendidikan itu membutuhkan fiqih yang mendalam. Mustahil seorang da’i memperoleh pemahaman yamg mendalam apa bila ia hanya menjadi muridnya buku, atau hanya mengumpulkan tulisan-tulisan dan menghafal isinya kalau ia ingin memiliki pemahaman yang benar, dia harus berhadapan dengan seorang guru yang membimbingnya. Dalam pepatah di katakan “barang siapa yang hanya berguru pada buku, maka kesalahannya lebih banyak dari pada benarnya.”
Oleh karena itu, murid-murid hasan Albana berguru pada beliau. Beliau mengajarkan kepada mereka pemahaman yang fleksibel (fiqih murunah) dalam beharakah. Akhirnya, dakwah mereka sampai ditimur dan barat, dengan semboyan,” Allah adalah tujuan kami, Rasulullah adalah tauladan kami, Al-Quran adalah undang-undang kami, jihad adalah jalan kami dan mati dijalan Allah adalah cita-cita tertinggi kami. “

4.         Menentukan Pemahaman
Menentukan pemahaman termasuk masalah penting yang dapat merekatkan umat islam dalam suatu ikatan. Seorang muslim tidak mungkin memperoleh pemahaman itu hanya dari lembaran – lembaran yang dia baca, melainkan harus melalui proses belajar kepada seorang guru yang membimbingnya. Ayat - ayat Allah itu tidak dipahami kecuali oleh orang – orang yang alim. Karena itu mereka menjadi manusia yang takut kepada Allah. Oleh sebab itu para sahabat merasa senang mengambil ilmu dari Rasulullah Saw.atau dari orang yang telah belajar langsung dengan beliau.
 Para sahabat Nabi selalu memuliakan ulama, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Abbas r.a. berkata, “sesungguhnya diantara hak orang alim yang wajib kamu tunaikan adalah hendaknya engkau memberi ucapan salam kepada manusia secara umum dan mengkhususkannya dengan penghormatan. Ketika engkau berada dihadapannya, engkau tidak boleh menolongnya dalam menjawab dan mencari-cari kekurangannya. Jika ia bersalah, maka maafkanlah. Jangan sekali - kali kamu mengatakan kepadanya, saya mendengar sifulan berkata demikian, “atau”pendapat Si Fulan berkata demikian,” atau “pendapat Si Fulan berbeda dari pendapatmu.” Janganlah sekli – kali engkau menyifati orang alim di sisi – sisinya, karena orang alim itu bagaikan pohon kurma. Engkau menungu saat jatuhnya kurma itu padamu.
Oleh karena itu, penghormatan kepada orang-orang alim itu sangat penting dan harus diperhatikan. Sa’id bin sumarah bin jundub berkata, “ dahulu,tatkala saya masih kanak- kanak dan saat saya belajar dari Rasullullah Saw, tidak ada yang menghalangiku dari berbicara, kecuali disana ada orang-orang yang lebih tua dariku .”(mutafun ‘alaih).
Dari Abdullah bin amr  bin ash r.a  ia berkata  bahwa dia mendengar  rasullullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak  mengambil ilmu dengan (cara) dicabut ilmu itu dari manusia , akan tetapi  dia mencabut ilmu  dengan mencabut (nyawa) para ulama. Sehingga ketika tidak ada lagi orang yang alim, maka manusia akan mengangkat para pemimpin yang bodoh. Ketika mereka ditanya, mereka memberikan fatwa dengan tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan”. (mutafaqun ‘alaih).

Adakah yang lebih bodoh dari pada orang yang berdiri didepan untuk mendakwahi manusia kejalan (agama) Allah, sementara dia memahami Islam  sebagai agama yang hanya berisi ibadah tanpa qiyadah ( kepemimpinan), syi’ar tanpa syari’at sistem nilai tanpa jihad sehingga banyak orang yang mengingkari bahwa islam adalah agama jama’ah (din,al jama’at). Mereka mengatakan bahwa agama hanyalah sebagai sarana kebaikan jiwa dan pembersihan hati. Agama tidak kaitanya dengan urusan kemasyarakatan .Padahal, kehidupan brjmaah itulah yang mampu melindungi mereka [3]dari srigala yang hendak memangsa , memperkuat eksistensinya dan ikut serta dalam menyelsaikan persoalan-persoalan individu yang ada didalamnya, agar mereka semua mampu menegakkan hukum Allah di muka bumi ini.
Ibnu Taimiyyah menjadikan ikatan ukhuwah setara dengan ikatan keimanan , karena hanya dengan ikatan ukhuwah itulah syari’at Allah bisa ditegakkan. Ada kaidah ushul yang berbunyi, “sesuatu yang tidak sempurna suatu keeajiban kecuali denganya, maka sesuatu itu menjadi wajib”.
Sungguh bodoh orang-orang yang menjadikan islam sebagai pedang yang terhunus diatas pundak para budak. Mereka tidak mengenal hikmah dalam berbicara, nasehat dalam berdakwa, serta mujadallah dengan cara yang lebih baik. Mereka mengira bahwa islam itu ditgakkan dengan pedang. Mereka tidak bisa membedakan antara sewenang-wenang dalam kekuasaan dengan ketegasan dalam upaya menegakkan syariat Allah di muka bumi.
Untuk mencapai tujuan itu dibutuhkan pembinaan generasi melalui tahap – tahap yang panjang. Mulai dari fase pengenalan, penyucian diri, penyeleksian sampai fase penanaman aqidah yang mewujudkan para da’I yang sejati atau pilar-pilar dakwah (rijal ad-da’wah). Yaitu orang-orang yang apa bia melihat musuh Islam bersekongkol untuk memusuhi mereka, maka mereka berkata, “inilah yang dijanjikan oleh Allah  dan Rasul-nya,dan maha benr Allah dan Rasul-nya.” Hal itu tidak menambah mereka kecuali keimanan dan pencerahan diri.
Nilai-nilai luhur inilah yang telah menempa para aktivis yang menjadi pilar dakwah generasi pertama di rumah-rumah Allah; rumah-rumah dimana Allah telah mengizinkan mereka untuk mengumandangkan nama-namanya dan selalu bertasbih kepada-nya di rumah-rumah itu di pagi maupun di petang hari. Mereka adalah komunitas orang yang tidak disibukkan oleh perniagaan dan jual beli dari berzikir kepada Allah. Mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat dan takut kepada suatu hari dimana hati dan mata manusia terguncang.
Oleh karena itu, seorang da’I wajib menjelaskan kepada objek dakwahnya tentang pentingnya menimba ilmu dari orang yang alim, atau da’I yang cerdik, memahami dakwahnya dan memahami manhajnya. Karena pada prinsipnya, orang yang tidak memiliki sesuatu tidak mungkin bisa memberi sesuatu. Islam itu menerima dan memberi (take in give).Di situ bertemu antara guru dan merid. Keduanya bagaikan tangan yang saling membasuh antara satu dengan yang lainnya.
5.         Belajar dari Orang Yang Berpengalaman
Belajar dari orang-orang yang berpengalaman (khibrah) dan pengetahuan bisa memelihara diri dari kesesatan. Beramal dalam suasana jauh dari mereka itulah yang memicu sikap tergesa untuk memetik hasil. Karena manusia dilahirkan dalam keadaan bodoh, tidak memiliki ilmu sedikit pun, sebagaimana di jelaskan oleh Allah Swt,
¨bÎ) š­/u ÓÅÓø)tƒ NæhuZ÷t/ ¾ÏmÏJõ3çt¿2 4 uqèdur âƒÍyêø9$# ÞOŠÎ=yèø9$# ÇÐÑÈ
Artinya : Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu, sedangkan kamu tidak memiliki sesuatu (An-Naml: 78).

Kemudian manusia memulai langkah dari media yang diberikan oleh Allah kepadanya, yaitu pendengaran, penglihatan dan hati. Oleh karnanya proses belajar mengajar itu tidak hanya dari kitab atau buku-buku saja, tetapi harus di sempurnakan melalui eksperimen dan latihan.
Seorang aktivis yang paham adalah orang yang mau mengambil pelajaran dari pengalaman dan berbagai eksperimen yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Hai ini jauh lebih efektif dan efisien daripada dia harus memulai segala sesuatunya dari awal. Adapun orang-orang yang sombong dan menjauhkan dirinya dari orang-orang yang memiliki pengalaman serta ilmu, dia pasti akan menemui kesalahan-kesalahan.
Keberuntungan itu dengan memetik buah pengalaman orng lain dan pengetahuanya sepanjang jalan hidup yang telah mereka lalui. Karena manusia itu seringkali memberi orang yang tidak dikenal haknya, dan bakhil terhadap orang yang mengancam hak dan tidak memeliharanya.
Demikianlah apabila seorang da’I menjadi merid seorang imam dalam masalah fiqih dan haraqah, pengetahuan dan pengalaman, nantinya ia akan bisa memberikan apa yang pernah dia peroleh dari guru-gurunya kepada orang-orang yang mereka dakwahi, sehingga terwujudlah dakwah yang benar dengan pamahaman yang detail. Dengan demikian, dakwah akan melariskan baraqah serta menebarkan hidayah.

C.      PENUTUP
Sekian dari makalah kami untuk itu kami akan sangat senang sekali bila pembaca mau memberikan kritikan dan saran yang membangun demi kemajuan makalah kami kedepannya atas kritik dan sarannya kami ucapkan erima kasih
DAFTAR BACAAN


Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fikih Dakwah,surkarta: er intermedia, 2005. Hal 384
DR. H. SALMADANIS, MA,filsafat dakwah, iain imam bonjol press, cet. 1 padang 1999
Http:// toko buu sahari. Buqsome com/.suluk.bloqsome.com



[1] Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fikih Dakwah,surkarta: er intermedia, 2005. Hal 384
[2] Http:// toko buu sahari. Buqsome com/.suluk.bloqsome.com
[3] DR. H. SALMADANIS, MA,filsafat dakwah, iain imam bonjol press, cet. 1 padang 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar