TAFSIR
TENTANG KEWAJIBAN MENEGAKKAN HUKUM SESUAI KETENTUAN ALLAH
(Q.S
AN-NISA:59, 105-106)
1. Q.S AN-NISA:59
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqß§9$#
Í<'ré&ur
ÍöDF{$#
óOä3ZÏB
(
bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx«
çnrãsù
n<Î)
«!$#
ÉAqß§9$#ur
bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
4
y7Ï9ºs
×öyz
ß`|¡ômr&ur
¸xÍrù's?
ÇÎÒÈ
Artinya : Hai orang-orang yang
beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
mengimani Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian)
dan lebih baik akibatnya. (QS. An-nisa : 59)
2. ASBAB AN-NUZÛL
Diriwayatkan al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibnu
Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, al-Baihaqi dalam Ad-Dalâil dari
jalur Said bin Jubair dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin ’Adi, ketika dia diutus Rasulullah SAW
memimpin suatu pasukan[1]
3. MUFRADAT KATA SULIT
Berlainan pendapat :
Läêôãt»uZs?
Maka kembalikanlah : nrãsù
Dan lebih baik akibatnya : `|¡ômr&ur ¸xÍrù's?
4. PENJELASAN AYAT
Allah Swt. berfirman:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqß§9$#
Í<'ré&ur
ÍöDF{$#
(Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu.),maknanya adalh hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah sebagai Tuhanmu, patuhilah segal
perintahNya dan LaranganNya, serta taatilah RasulNya, yaitu Muhammad SAW karena
sesungguhnya ketaatanmu kepada nabi Muhammad adalah bentuk ketaatanmua kepada
Tuhanmu dan semata-mata karena menjalankan peintah Allah kepadamu[2].
ayat ini ditujukan kepada seluruh kaum Mukmin.Pertama: perintah
untuk menaati Allah Swt., yakni menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya[3].
Abu Ja’far mengatakan bahwa Ayat tersebut menjelaskan tentang perintah
dari Allah untuk mentaati Rasul semasa hidupnya, taat dalam hal apa saja yang
telah diperintahkan atau dilarang, dan juga mentaati segala perintah atau larangan
setelah beliau wahat dengan mengikuti sunnah beliau. Oleh karena itu, Allah
telah mengumumkan perintah taat kepada rasul-Nya dengan tidak mengkhususkan
pada satu kondisi, melainkan disebutkan secara menyeluruh dan merata, sehingga
kekhususan tersebut wajib diterimanya dengan sepenuh hati.
Kedua: perintah menaati
Rasulullah saw. Rasulullah saw. diutus dengan membawa risalah dari Allah Swt.
yang wajib di taati. Karena itu, menaati Rasulullah saw. sama dengan menaati
Zat Yang mengutusnya, Allah Swt.
Ketiga: perintah menaati ulil
amri. Para mufassir berbeda pendapat mengenai makna istilah tersebut. Oleh
sebagian mufassir, ulil amri dimaknai sebagaiulamâ’. Jabir bin Abdullah,
Ibnu Abbas dalam suatu riwayat, al-Hasan, Atha’ dan Mujahid termasuk yang berpendapat
demikian. Mereka menyatakan, ulil amri adalah ahli fikih dan ilmu[4].
Menurut Ibnu ’Athiyah dan al-Qurthubi, ini merupakan pendapat jumhur
ulama[5], juga ath-Thabari, al-Qurthubi, az-Zamakhsyari,
al-Alusi, asy-Syaukani, al-Baidhawi, dan al-Ajili[6]. Said
Hawa juga menyatakan, ulil amri adalah khalifah; yang kepemimpinannya terpancar
dari syura kaum Muslim; urgensinya untuk menegakkan al-Kitab dan as-Sunnah.
Kaum Muslim wajib menaatinya beserta para amilnya dalam hal yang makruf.8
Menurut as-Sa‘di, bisa jadi inilah rahasia dihilangkannya frasa athî’û pada
perintah untuk menaati ulil amri dan disebutkannya kata tersebut pada perintah
untuk menaati Rasul. Artinya, Rasulullah saw. tidak memerintahkan kecuali
ketaatan kepada Allah. Karena itu, siapa saja yang menaati Beliau berarti sama
dengan menaati Allah Swt. Adapun kepada ulil amri, perintah taat itu
disyaratkan tidak dalam perkara maksiat[7].
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx«
çnrãsù
n<Î)
«!$#
ÉAqß§9$#ur
(Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)).maksudnya adalah , wahai orang-orang yang beriman, jika kamu berbeda
pendapat dalam satu urusan agama kamu dengan pemimpin kalian, maka kembalikanlah
ia kepada Allah,, yaitu kembalikanlah pengetahuan hukum yang kalian dan
pemimpin kalian perselisihkan, kepada hukum Allah. Ikutilah apa yang kalian
dapatkan di dalamnya, dengan mengikuti apa yang di dalam kitab tersebut, dari
mulai perintah, larangan, hukum,dan ketentuannya.
Mengenai ayat “dan rasul” ia berkata jika kamu tidak mendapatkan jalan
keluar dalam kitab Allah maka kembalikanlah pengetahuan tesebut kepada rasul
bila beliau masih hidup. Namun, bila telah wafat maka ambillah pengetahuan
tersebut dari sunnah beliau[8].
Kata tanâzu‘ berarti mencabut hujjah lawannya dan
menyikirkannya. Kata ini untuk menggambarkan adanya perselisihan dan
perdebatan yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kata syay’[in] (sesuatu)
meliputi semua urusan, baik urusan ad-dîn maupun dunia.
Namun, ketika dilanjutkan, faruddûhu ila Allâh wa ar-Rasûl, maka
kalimat itu menjelaskan bahwa sesuatu yang diperselisihkan itu adalah
urusan ad-dîn.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
(jika kamu benar-benar mengimani Allah dan hari kemudian), as-Sa’di berkata, “Hal itu menunjukkan bahwa orang yang tidak
mengembalikan masalah yang diperselisishkan kepada keduanya (al-Quran dan
as-Sunnah) pada hakikatnya bukanlah seorang Mukmin, namun beriman kepada
thâghût, sebagaimana disampaikan dalam ayat selanjutnya.”[9]
At-Thobari mengatakan maknanya adalah “lakukanlah hal tersebut jika kamu
percaya dengan Allah dan hari akhir, yakni hari yang di dalamnya telah
mengandung pahala dan siksa. Jika kamu melakukan apa yang telah diperintahkan
maka kamu akan mendapat balasan dari Allah berupa pahala, sedangkan jika tidak
melaksanakan hal tersebut maka kamu akan mendapatkan siksa yang pedih[10].
Hal senada juga dinyatakan oleh Ibnu Katsir[11]. Ayat
ini kemudian diakhiri dengan firman-Nya:
y7Ï9ºs
×öyz
ß`|¡ômr&ur
¸xÍrù's?
(Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya),
Kata Dzâlika menunjuk pada tindakan mengembalikan
perkara pada al-Kitab dan as-Sunnah. Qatadah menyatakan, maksud
farasa ini adalah:ahsanu tsawâb[an] wa khayru âqibat[an] (sebaik-baik
pahala dan seutama-utama akibat).
Menurut tafsir at-thobari maksud lafadz dzalika adalah kembalikanlah apa yang kamu
perselisihkan kepada allah dan rasul, karena itu lebih baik bagimu di sisi
Allah pada hari kamu dikembalikan kelak, dan lebih baik dalam urusan duniamu,
sebab itu mengajak kepada kasih sayang dan meninggalkan perselisihan serta
perpecahan.
Lafash waahsana takwila “dan lebih baik akibatnya” maksudnya
lebih mendapat perlindungan dan pemeliharaan, serta lebih bagus kesudahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar