Rabu, 17 Juni 2015

TAFSIR AHKAM

TAFSIR TENTANG KEWAJIBAN MENEGAKKAN HUKUM SESUAI KETENTUAN ALLAH
(Q.S AN-NISA:59, 105-106)
1. Q.S AN-NISA:59
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-nisa : 59)

2. ASBAB AN-NUZÛL
Diriwayatkan al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, al-Baihaqi dalam Ad-Dalâil dari jalur Said bin Jubair dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin ’Adi, ketika dia diutus Rasulullah SAW memimpin suatu pasukan[1]

3. MUFRADAT KATA SULIT
Berlainan pendapat                                                                        : Läêôãt»uZs?
Maka kembalikanlah                                                          : nrŠãsù
Dan lebih baik akibatnya                                                    : `|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's?
4. PENJELASAN AYAT
Allah Swt. berfirman: 
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$#
(Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.),maknanya adalh hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah sebagai Tuhanmu, patuhilah segal perintahNya dan LaranganNya, serta taatilah RasulNya, yaitu Muhammad SAW karena sesungguhnya ketaatanmu kepada nabi Muhammad adalah bentuk ketaatanmua kepada Tuhanmu dan semata-mata karena menjalankan peintah Allah kepadamu[2]. ayat ini ditujukan kepada seluruh kaum Mukmin.Pertama: perintah untuk menaati Allah Swt., yakni menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya[3].
Abu Ja’far mengatakan bahwa Ayat tersebut menjelaskan tentang perintah dari Allah untuk mentaati Rasul semasa hidupnya, taat dalam hal apa saja yang telah diperintahkan atau dilarang, dan juga mentaati segala perintah atau larangan setelah beliau wahat dengan mengikuti sunnah beliau. Oleh karena itu, Allah telah mengumumkan perintah taat kepada rasul-Nya dengan tidak mengkhususkan pada satu kondisi, melainkan disebutkan secara menyeluruh dan merata, sehingga kekhususan tersebut wajib diterimanya dengan sepenuh hati.
Kedua: perintah menaati Rasulullah saw. Rasulullah saw. diutus dengan membawa risalah dari Allah Swt. yang wajib di taati. Karena itu, menaati Rasulullah saw. sama dengan menaati Zat Yang mengutusnya, Allah Swt.
Ketiga: perintah menaati ulil amri. Para mufassir berbeda pendapat mengenai makna istilah tersebut. Oleh sebagian mufassir, ulil amri dimaknai sebagaiulamâ’. Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas dalam suatu riwayat, al-Hasan, Atha’ dan Mujahid termasuk yang berpendapat demikian. Mereka menyatakan, ulil amri adalah ahli fikih dan ilmu[4].
Menurut Ibnu ’Athiyah dan al-Qurthubi, ini merupakan pendapat jumhur ulama[5],  juga ath-Thabari, al-Qurthubi, az-Zamakhsyari, al-Alusi, asy-Syaukani, al-Baidhawi, dan al-Ajili[6]. Said Hawa juga menyatakan, ulil amri adalah khalifah; yang kepemimpinannya terpancar dari syura kaum Muslim; urgensinya untuk menegakkan al-Kitab dan as-Sunnah. Kaum Muslim wajib menaatinya beserta para amilnya dalam hal yang makruf.8
Menurut as-Sa‘di, bisa jadi inilah rahasia dihilangkannya frasa athî’û pada perintah untuk menaati ulil amri dan disebutkannya kata tersebut pada perintah untuk menaati Rasul. Artinya, Rasulullah saw. tidak memerintahkan kecuali ketaatan kepada Allah. Karena itu, siapa saja yang menaati Beliau berarti sama dengan menaati Allah Swt. Adapun kepada ulil amri, perintah taat itu disyaratkan tidak dalam perkara maksiat[7].
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: 
bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur
(Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)).maksudnya adalah , wahai orang-orang yang beriman, jika kamu berbeda pendapat dalam satu urusan agama kamu dengan pemimpin kalian, maka kembalikanlah ia kepada Allah,, yaitu kembalikanlah pengetahuan hukum yang kalian dan pemimpin kalian perselisihkan, kepada hukum Allah. Ikutilah apa yang kalian dapatkan di dalamnya, dengan mengikuti apa yang di dalam kitab tersebut, dari mulai perintah, larangan, hukum,dan ketentuannya.
     Mengenai ayat “dan rasul” ia berkata jika kamu tidak mendapatkan jalan keluar dalam kitab Allah maka kembalikanlah pengetahuan tesebut kepada rasul bila beliau masih hidup. Namun, bila telah wafat maka ambillah pengetahuan tersebut dari sunnah beliau[8].
Kata tanâzu‘  berarti mencabut hujjah lawannya dan menyikirkannya. Kata ini untuk menggambarkan adanya perselisihan dan perdebatan yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kata syay’[in] (sesuatu) meliputi semua urusan, baik urusan ad-dîn maupun dunia. Namun, ketika dilanjutkan, faruddûhu ila Allâh wa ar-Rasûl, maka kalimat itu menjelaskan bahwa sesuatu yang diperselisihkan itu adalah urusan ad-dîn.
Kemudian Allah Swt. berfirman: 
bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$#
(jika kamu benar-benar mengimani Allah dan hari kemudian), as-Sa’di berkata, “Hal itu menunjukkan bahwa orang yang tidak mengembalikan masalah yang diperselisishkan kepada keduanya (al-Quran dan as-Sunnah) pada hakikatnya bukanlah seorang Mukmin, namun beriman kepada thâghût, sebagaimana disampaikan dalam ayat selanjutnya.”[9]
At-Thobari mengatakan maknanya adalah “lakukanlah hal tersebut jika kamu percaya dengan Allah dan hari akhir, yakni hari yang di dalamnya telah mengandung pahala dan siksa. Jika kamu melakukan apa yang telah diperintahkan maka kamu akan mendapat balasan dari Allah berupa pahala, sedangkan jika tidak melaksanakan hal tersebut maka kamu akan mendapatkan siksa yang pedih[10].
Hal senada juga dinyatakan oleh Ibnu Katsir[11]. Ayat ini kemudian diakhiri dengan firman-Nya: 
y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's?
(Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya),
Kata Dzâlika menunjuk pada tindakan mengembalikan perkara pada al-Kitab dan as-Sunnah. Qatadah menyatakan, maksud farasa ini adalah:ahsanu tsawâb[an] wa khayru âqibat[an] (sebaik-baik pahala dan seutama-utama akibat).
Menurut tafsir at-thobari maksud lafadz dzalika  adalah kembalikanlah apa yang kamu perselisihkan kepada allah dan rasul, karena itu lebih baik bagimu di sisi Allah pada hari kamu dikembalikan kelak, dan lebih baik dalam urusan duniamu, sebab itu mengajak kepada kasih sayang dan meninggalkan perselisihan serta perpecahan.
Lafash waahsana takwila “dan lebih baik akibatnya” maksudnya lebih mendapat perlindungan dan pemeliharaan, serta lebih bagus kesudahannya.





[1] K.H.Q. Shaleh, dkk. Asbabun Nuzul. (Bandung: Diponegoro.2007). cet.ke  9. Hal. 146
[2] Terjemahan Tafsir At-THobari. Hal. 250
[3] As-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993),  vol. 2, hal. 608.

[4] Al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’âm,  (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), hal. 298.

[5] Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz,  (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), hal. 70;
[6] al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,  az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol 1 (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), hal: 513
[7] As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, (tt: Jamiyyah al-Turats, 2000), hal. 214.
[8] Terjemahan tafsir At-Thobari. Hal. 262-263
[9] As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân,  hal, 214.

[10] Terjemahan tafsir At-Thobari. Hal. 263
[11] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm,  (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), hal.  633

Tidak ada komentar:

Posting Komentar