Rabu, 17 Juni 2015

KEPRIBADIAN ATAU SIFAT-SIFAT YANG HARUS DIMILIKI OLEH DA’I

KEPRIBADIAN ATAU SIFAT-SIFAT
YANG HARUS DIMILIKI OLEH DA’I
Oleh : Icha & Tija

A.           PENDAHULUAN
Berdakwah untuk menyeru manusia kepada kebaikan, jika disertai dengan penyimpangan perilaku para da’i, merupakan penyakit yang akan menimbulkan kebimbangan dalam diri. Tidak hanya pada diri seorang da’i, tetapi juga terhadap dakwah. Hal inilah yang mengacaukan hati dan pikiran masyarakat karena mereka mendengar kata-kata yang indah tetapi menyaksikan perbuatan yang buruk. Saat itulah, mereka bingung untuk menilai ucapan dan perbuatan. Di satu sisi, didalam jiwa mereka berkobar api semangat yang disulut oleh aqidah, namun di sisi lain, cahaya hati yang bersumber dari keimanan yang meredup, lalu padam. Mereka tidak lagi percaya kepada agama setelah kehilangan kepercayaan kepada para da’i yang menyebarkannya.
Kata-kata yang diucapkan mati dan kaku sekalipun terdengar begitu indah, manarik, dan penuh semangat. Kata-kata itu kehilangan makna dan kekuatannya karena muncul dari hati yang tidak meyakininya. Siapapun tidak bisa meyakini . siapapun tidak bisa meyakini kata-kata yang diucapkan sebagai suatu kebenaran kecuali jika dirinya menjadi contoh hidup dari ucapanya, dan perwujudan nyata dari kata-katanya. Saat itulah, oarang lain bisa meyakini dan memercayainya, sekalipun tidak dihiasi oleh retorika yang indah dan menarik. Sebab, kekuatannya terletak pada pengalaman bukan pada hiasan. Daya tariknya terletak pada ketulusan, bukan pada keindahan retorika. Ketika itu, kata-kata berubah menjadi kekuatan penggerak yang hidup karena berasal dari jiwa yang hidup.
Dengan demikian, keteladanan merupakan prinsip dakwah yang paling potensial, bahkan paling besar pengaruhnya bagi manusia untuk menarik manusia kepada kebaikan dan kebenaran. Karena langsung menyentuh hati dan perasaan objek dakwah ketika menyaksikan praktek nyata yang yang dilakukan juru dakwah
Karena itulah dalam makalah ini akan dipaparkan indikator-indikator keyakinan yang tulus kepada dakwah, kepribadian dan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang da’i, menerangkan hakikat komitmen terhadap dakwah, dan mempraktikan prinsip-prinsip serta semboyan-semboyan dakwah menjadi realitas praktis yang diakui oleh semua pihak, baik orang dekat maupun jauh.

B.            Kepribadian Atau Sifat Yang Harus Dimilki Oleh Seorang Da’i
Sebelum kita masuk dalam kepribadian dan sifat yang harus dimiliki oleh seorang dai, mari kita me-refresh kembali ingatan kita mengenai pengertian dai.
Di dalam Al-Qur'an kata dai berakar dari دَعَا (da’a), يَدْعُوْ (yad’u), دَعْوَةً (da’watan) dan الداع (dai) isim failnya, orang yang meminta, orang yang menyeru atau orang yang mengajak pada sesuatu.[1]
Menurut A. Hasjimy, dalam bukunya dustur dakwah menurut Al-Qur'an, bahwa imam al-ghazali mengemukakan pendapatnya bahwa dai itu adalah para penasehat, para pemimpin dan para pemberi ingat, yang memberikan nasehat dengan baik, yang mengarang dan berkhutbah, yang memusatkan jiwa raganya dalam wa’ad dan wa’id (berita pahala dan siksa) dan dalam membicarakan kampung akhirat untuk melepaskan orang-orang yang karam dalam gelombang dunia.
Dibawah ini kepribadian atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang dai:



1.        Amanah (terpercaya)
Amanah (terpercaya) adalah sifat utama yang harus dimilki oleh seorang dai sebelum sifat-sifat yang lain. Ini merupakan sifat yang dimilki oleh seluruh nabi dan rasul. Karena amanah selalu bersamaan dengan ash-shidq (kejujuran), maka tidak ada manusia jujur yang tidak terpercaya, dan tidak ada manusia terpercaya yang tidak jujur.[2]
Namun demikian, mengemban tugas amanah memang bukanlah suatu perkara yang ringan dan mudah. Setidaknya hal ini dapat kita lihat dari penolakan yang dilakukan oleh langit dan gunung-gunung, ketika mereka ditawari oleh Allah SWT untuk memanggul amanah.[3]
$¯RÎ) $oYôÊttã sptR$tBF{$# n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur šú÷üt/r'sù br& $pks]ù=ÏJøts z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß Zwqßgy_ ÇÐËÈ  
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat[4] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.” (Q.S

Dan seberat apapun amanah yang dibebankan kepada seorang dai, maka ia wajib untuk menyampaikannya kepada yang berhak menerimanya.

2.        Shidq (jujur)
Adapun shidq yang berarti kejujuran dan kebenaran, lawan kata dari kedustaan, termasuk antara sifat-sifat dasar yang menjelaskan potensi dasar seorang pelopor perjuangan.
Hal ini menjadi sangat penting, karena tanpanya perkataan seseorang tidak akan didengar, terlebih dipercaya. Jujur berarti benar dalam ucapan sesuai dengan kata hati yang sesungguhnya. Tidak menutup-nutupi kebenaran ataupun kesalahan. Yang benar dikatakan benar, dan yang salah diakatakan salah.

Tingkat-tingkat sifat siddiq:
1.         Shidq dalam perkataan
Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk memelihara tutur katanya. Hendaknya ia tidak berbicara kecuali dengan jujur. Dan kesempurnaan shidqul qaul adalah menjaga kata-kata yang diplomatis.
Demikianlah, seorang da’i harus mempunyai kepekaan perasaan atas dirinya, sehingga dalam setiap kondisi selalu bermunajat kepada rabbnya. Agar kejujuran itu menjadi pembimbingnya dalam segala sesuatu, dia harus merasa malu kepada allah ketika lisannya mengucapkan.

2.      Shidq dalam niat dan kehendak
Shidq dalam niat dan kehendak dikembalikan kepada keikhlasan artinya, tidak ada motivaasi dalam gerak atau diamnya selain karena Allah SWT. Jika niat seperti itu disertai dengan keinginan-keinginan nafsu, niscaya kejujurannya menjadi batal (hilang).

3.      Shidqul “azam (tekad yang benar)
Yaitu semangat yang kuat, tidak ada kecendrungan lain, tidak melemah dan tidak ragu-ragu.

4.      Shidq dalam menepati janji
Diantara orang-orang yang beriman ada orang-orang yang jujur (menepati) apa yang mereka janjikan kepadan Allah SWT.

5.      Shidq dalam bekerja
Artinya hendaknya bersungguh-sungguh dalam beramal sehingga apa yang tampak dalam perbuatannya adalah apa yang ada dalam hatinya. Barang siapa yang memberi nasehat kepada oarang lain dengan tutur kata yang baik, tetapi hatinya menginginkan agar ia dikatakan sebagai orang alim, ia telah berbohong  dengan perilakunya. Ia tidak jujur, karena kejujuran beramal adalah sikap yang dalam kedaan sendiri ataupun dihadapan banyak orang. Artinya, batinya seperti zhahirnya atau bahkan lebih baik daripada zhahirnya.
Oleh karena itu, sifat jujur dan amanh saling memperkuat, dan merupakan dua sifat yang tidak bisa dipisahkan, keduanya berkaitan erat dengan keikhlasan berikut.

3.        Ikhlas
Menurut DR. Yusuf Al-Qaradhawi, orang yang ikhlas adalah orang yang amal perbuatannya hanya didasari dengan mengharap keridhoan Allah SWT, membersihkannya dari segala noda individual mapun duniawi.
Nabi SAW berkata kepada Mu’adz,
“ ikhlaskanlah amalmu, maka akan cukup bagimu (amal) yang sedikit”
Oleh karena itu, terapi keikhlasan adalah dengan menghilangkan keinginan-keinginan nafsu dan memutus sifat tamak terhadap dunia, serta hanya menginginkan akhirat. Keinginan akan akhirat itulah yang dominan dalam hati. Dengan demikian keihlasan itu akan mudah diperoleh, karena betapa banyak amalan yang diperbuat oleh manusia dengan susah payah. Dia mengira bahwa amalan-amalan itu secara ikhlas dilakukan karena Allah, akan tetapi ternyata ia tertipu, karena ia tidak melihat bahaya didalamnya. Maka hendaklah seorang dai sangat berhati-hati dan selalu melakukan introspeksi diri, sehingga dakwahnya benar-benar murni karena Allah SWT. Hendaklah ia selalu berkata kepada dirinya, katakanlah saya tidak meminta imbalan (atas dakwahku), tidak ada yang memberi imbalan kepadaku kecuali (Allah SWT ) tuhan semesta alam.

4.        Sabar
Sabar dapat berarti tabah, tahan uji, tidak mudah putus asa, tidak tergesa-gesa, juga tdak mudah marah. Seorang dai yang menginginkan kebajikan dalam dakwahnya perlu memiliki sifat sbar dalam segala situasi dan kondisi.
Sabar merupakan salah satu inti kebahagiaan, sebagaimana dikatakan oleh imam ibnul qayyim, “inti kebahagiaan itu ada tiga:
1.         Apabila mendapat nikmat ia bersyukur
2.         Apabila diuju ia sabar
3.         Dan apabila ia berbuat dosa maka beristighfar.”
Selain itu, jiwa manusia memiliki dua kekuatan: kekuatan untuk maju kedepan, dan kekutan untuk mengendalikan diri. Hakikat sabar ialah mempergunakan “keuatan maju kedepan” untuk melakukan sesuatu yang membawa manfaat bagimu, dan menggukan “kekuatan pengendalian” untuk mencegah diri dari apa-apa yang membahayakanmu. Dengan demikian setiap muslim akam memiliki keabaran untuk melaksanakan ketaatan  dan kesabaran untuk meninggalkan maksiat, sehingga dirinya dihiasi dengan akhlak mulia. Sosok pribadi seperti inilah yang akan mampu mewarnai masyarakat dan memformatnya dengan fornat Allah SWT.
Sabar tidak bisa dicapai kecuali dengan tiga hal:
1.         Menahan diri dari mengeluh
2.         Menahan lisan dari perkataan kotor dan mengadu domba
3.         Menahan anggota badan dari perbuatan zalim
Dengan itu, seorang muslim merasa mulia dan bersih hatinya, seakan ia terbang kelangit bersama para malaikat Allah SWT yang mulia.
Pemahaman yang salah
Sebagian manusia mengira bahwa sabar merupakan perilaku atau sikap negatif yang identik dengan menyerah, tidak berusaha, dan menghinakan diri. Padahal tidak demikian, karena sabar merupakan inti dari akhlak yang terpuji. Ia merupakan perilaku yang positif.
Sebagai sebuah contoh, adalah merupakan kesabaran, ketika rasulullah SAW menghadapi penyiksaan, penghinaan, pelecehan, dan pengucilan dari keluarganya, kaumnya, dan manusia yang paling dekat nasabnya. Dan kemudian beliau menngatakan,” demi allah wahai pamanku, andaikan mereka  mampu meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan ditangan kiriku agar aku meninggalkan perjuangan ini, aku tidak akan meninggalkannya, hingga Allah SWT memberi kemenangan atau aku binasa karenanya.”. Apakah perkataan ini dianggap negatif, padahal beliau tetap tegar dan teguh diatas yang haq, berakhlak mulia, dan berdakwah dengan bijaksana serta berdebat dengan cara yang baik.
Demikianlah skhlak seorang dai, ia tidak sempit dada ketika dicaci maki oleh musuh-musunya, dikatakan bodoh, tolol, dan sebagainya. Demikian juga atas makar dan tipu daya yang dibuat oleh mereka, karena Allah SWT senantiasa bersama orang-orang yang bertakwa, (yaitu dengan pertolongannya) dan Allah SWT senatiasa bersama orang-orang yang beramal baik (yaitu dengan pemeliharaannya). Dan tidak akan berbahaya baginya tipu daya orang-orang kafir.

Sabar, dan sabarlah!
Jika kesabaran merupakan kebutuhan bagi  setiap orang, maka bagi seorang dai kesabaran itu lebih dibutuhkan daripada yang lainnya. Kerena seorang dai bekerja dalam dua medan, yang pertama ia menghadapi dirinya sendiri yakni berjihad melawan nafsunya, mendorongnya untuk taat, dan mencegahnya dari maksiat, kemudian ia juga harus menghadapi orang-orang diluar dirinya, yaitu dimedan dakwah. Ia berdialog dengan masyarakat dan berbaur dengan mereka, karena seorang muslim yang bergaul denagn masyarakat dan bersabar atas gangguan mereka itu lebih baik daripada seorang muslim yang tidak mau bergaul dengan masyarakat sementara ia tidak sabar atas gangguan mereka.
Karena itu, seorang dai membutuhkan porsi yang besar dari kesabaran ini dalam dua medan, medan dirinya dan medan dakwah, sehingga ia mampu mengatasi hambatan-hambatan dan sanggup memikul beban. Tetapi jika ia kehilangan sifat sabar, ia akan berhenti atau menarik diri dari medan dakwah, sehingga akan terkena hisab dan kehilangan pahala.

5.         Hirs (perhatian yang besar)
Seorang dai harus memilki hirsh (perhatian yang besar) kepada objek dakwahnya, sampai yang bersangkutan merasakan adanya perhatian yang besar tersebut. Persaan seperti ini akan mampu membuka hatinya dan menggugah persaannya, sehingga objek dakwah siap mendengarkan apa ayng disampaikannya.
Seoranga dai kadang-kadang terasa amat memperhatikan objek dakwahnya, namun demikian tetap saja ia tidak bisa menentukan hasil amalnya dan buah jihadnya. Dan seorang dai merasa sedih karena manusia berpaling dari padanya dan jauhnya mereka dari dakwahnya.
Seorang dai sejati yang ikhlas karena Allah SWT akan merasa sakit dan meyesal ketika ia melihat hambatan, penghinaan, dan pelecehan manusia terhadap dakwahnya. Namun, ia tetap beriaman dan meyakini bahwa dakwahnya adalah dakwah yang haq, dan jalannya adalah jalan yang lurus (benar).
Contoh sikap hirs
Didalam kisah nabi Luth a.s kamu bisa melihat perhatia (hirsh) itu  tampak didalam perdebatan antara sayyidina ibrahim dengan para utusan Allah SWT (malaikat) yang pernah datang kepada kaum luth a.s demikian itu tedapat pada firman Allah SWT,
$£Jn=sù |=ydsŒ ô`tã tLìÏdºtö/Î) äí÷r§9$# çmø?uä!%y`ur 3uŽô³ç6ø9$# $uZä9Ï»pgä Îû ÏQöqs% >Þqä9 ÇÐÍÈ   ¨bÎ) tLìÏdºtö/Î) îLìÎ=yÛs9 ×nº¨rr& Ò=ŠÏYB ÇÐÎÈ  
Artinya : “Maka tatkala rasa takut hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, diapun bersoal jawab dengan (malaikat-malaikat) Kami tentang kaum Luth. Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang Penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.”

6.        Tsiqah (percaya), punya ingatan yang kuat
Keimanan seorang dai itu sangat dalam dan kepercayaannya sangat besar terhadap kemenangan agama. Ia percaya behwa sesungguhnya islam akan dimenangkan umatnya, merdeka daulahnya, dan berkibar tinggi panji-panjinya. Ajarannya akan tersebar di seluruh penjuru bumi dari timur sampai ke barat, betapapun musuh-musuh terus-menerus membuat makar.

Para rasul dan kemenangan
Yang pernah terjadi pada kaum Nuh a.s
çnqç/¤s3sù çm»uZøŠyfRr'sù tûïÏ%©!$#ur ¼çmyètB Îû Å7ù=àÿø9$# $oYø%{øîr&ur tûïÏ%©!$# (#qç/¤Ÿ2 !$oYÏG»tƒ$t«Î/ 4 öNåk¨XÎ) (#qçR$Ÿ2 $·Böqs% šúüÏJtã ÇÏÍÈ  
“Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan Dia dan orang-orang yang bersamanya dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).”

Allah SWT juga memberi pertolongan kepada syu’aib a.s
$£Js9ur uä!$y_ $tRãøBr& $uZøŠ¯gwU $Y6øyèä© tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä ¼çmyètB 7puH÷qtÎ/ $¨ZÏiB ÏNxyzr&ur tûïÏ%©!$# (#qßJn=sß èpysøŠ¢Á9$# (#qßst7ô¹r'sù Îû öNÏd̍»tƒÏŠ šúüÏJÏW»y_ ÇÒÍÈ  
“Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan Dia dengan rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya.”



Tuduhan omomg kosong
Kemenangan atau pertolongan, sebagaimana bisa diperoleh di dunia, ia juga bisa diraih di akhirat, sehingga nikmat dan kegembiraan itu dapat diperoleh secara sempurna.
$¯RÎ) çŽÝÇZoYs9 $oYn=ßâ šúïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä Îû Ío4quŠptø:$# $u÷R9$# tPöqtƒur ãPqà)tƒ ß»ygô©F{$# ÇÎÊÈ  
Artinya : “Sesungguhnya Kami menolong Rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).”

Berdasarkan ayat tersebut maka pertolongan Allah SWT di dunia mapun di akhirat adalah sama (tetap akan diberikan) sebagaimana ada yang setelah membunuh para nabi maka Allah SWT memberi kekuasaan pada orang yang akan mendukung para nabi itu atas mereka.

Beberapa arti kemenangan
Sesungguhnya diantara makna keenangan adalah al-intiqam yang artinya siksaan Allah SWT telah menyiksa orang-orang yang zalim ketika mereka hidup atau sesudah mati. Oleh karena itu, kita ingatkan orang-orang yang memusuhi Allah SWT dan rasul-nya yang selalu mengancam para pendukung-nya serta memerangi hamba-hamba-nya dan para mujahidin di jalan Allah SWT kita ingatkan mereka dengan sunatullah yang berlaku. Kita perlihatkan kepada mereka apa yang pernah menimpa umat-umat terdahulu.
Barang siapa mencoba menentang sunatullah, ia akan seperti planet yang keluar dari peredarannya. Ia akan segera jatuh dari atas menuju bumi, padam cahayanya, dan diinjak-injak oleh kaki serta diterbangkan oleh angin ketempat yang semakin jauh.

Salah paham
Adanya sebagian kaum muslimin yang salah paham terhadap makna pertolongan dan kemenangan. Yakni ketika jalan dakwah ini terasa panjang bagi seorang dai, dan tidak ada seorang pun yang mau menerima meskipun sang dai telah komitmen terhadap manhaj dakwah secara benar. Bertahun-tahun Ia mendakwahi manusia kepada agama Allah SWT, tetapi kemenangan belum juga terwujud dalam usianya yang terbatas ini. Lalu mereka menganggap bahwa dakwah ini telah gagal dan dainya pun lemah.

7.        Rahmah, Hilm, Dan Al-Anat
Rahmah(kasih sayang)
Sesungguhnya, sikap kasih sayang dalam segala hal sangat diharapkan, diskusi dan dianjurkan baik dalam syariat maupun secara akal. Dengan sikap itu, bermacam-macam keinginan dan kebaikan dapat dicapai, yang tidak mungkin tercapai dengan cara kekerasan dan kekasaran.
Seorang dai wajib mengetahui bahwa risalah yang diembannya untuk seluruh manusia ini adalah risalah rahmah (kasih sayang).
Rahmah (kasih sayang) itu meliputi kasih sayang dalam akidah, syariat, dan akhlak. Kamu bisa melihat kasih sayang islam itu ada dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga kasih sayang itu telah menjadi ciri khas masyarakat islam, baik terhadap sesama manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bahkan terhadap benda mati sekalipun. Bukankah ada seorang wanita yang dimasukan neraka karena kucing yang disiksanya? Sebaliknya, ada seorang pelacur masuk syurga karena belas kasihannyapada seekor anjing.
Rahmah (kasih sayang) tidak akan terwujud kecuali dengan memperhatikan orang yang kalian dakwahi. Oleh sebab itu, janganah kalian membenci mereka, tetapi tanamkan sifat kasih sayang terhadap mereka, sehingga kamu bisa melihat apa yang mereka tidak bisa melihatnya, dan kamu dapat membawa mereka kearah kebaikan.

Hilm (penyantun)
Sesungguhnya sifat penyantun (hilm) itu merupakan salah satu tanda dari tanda-tanada kenabian Rasulullah SAW, sebagaimana diceritakan oleh Abddullah Bin Salam mengenai kisah zaid bin sa’nah. Abdullha bin salam berkata: “ sesungguhnya Allah SWT ketiak  hendak memberi petunjuk pada Zaid Bin Sa’nah, Zaid berkata,’tidak ada sedikitpun dari tanad-tanda kenabian kecuali aku telah melihatnya di wajah muhammad saw ada dua hal yang akan aku beritahukan, sifat hilmnya mendahului ketidak tahuannya, dan ketidaktahuan yang sangat itu tidak menambahinya kecuali semakin bersikap halim. Aku pernah pergi kepadanya untuk berkawan dengannya, maka aku mengetahui sifat hilmnya dari ketidaktahuannya.

Al-anat (lemah lembut)
Keberhasilan dakwah memanage dan mengatur strategi dakwah. Hal ini dapat kita telusuri dari aplikasi hikmah yang diterapkan rasulullah bukan hanya faktor Ilahiyah (takdir Allah), tetapi juga disebabkan oleh kelihaian beliau dalam mencermati adanya perbedaan sarana dan kondisi atau dalam kerangka frame of reference dan field of experience yang berbeda dari berbagai objek dakwah. Sifat-sifat rasul yang digambarkan dalam al-Quran seperti kasih sayang,[5]
ôs)s9 öNà2uä!%y` Ñ^qßu ô`ÏiB öNà6Å¡àÿRr& îƒÍtã Ïmøn=tã $tB óOšGÏYtã ëȃ̍ym Nà6øn=tæ šúüÏZÏB÷sßJø9$$Î/ Ô$râäu ÒOŠÏm§ ÇÊËÑÈ  
Artinya : “ sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.”(QS. At-Taubah:128)

Bersikap lemah lembut, tidak keras dan tidak kasar, dan juga bijaksana.[6]
$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 ( öqs9ur |MYä. $ˆàsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ͐öDF{$# ( #sŒÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ  
Artnya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.[7] kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali-Imran: 159)

Pribadinya menarik, lembut tetapi bukan lemah, tawadhu’ merendahkan diri tetapi bukan rendah diri, pemaaf tetapi disegani. Dia duduk di tengah orang banyak, naum dia tetap tinggi dari orang banyak. Merasakan apa yang dirasakan orang banyak.[8]
Sesungguhnya termasuk keburukan seorang dai terhadap dirinya sendiri adalah apabila ia memberatkan manusia, seakan ia melihat mereka dengan penglihatan yang hina, atau dengan pandangan yang sombong dan merasa paling tinggi.
Coba dengarkan kata-kata bijak Umar Bin Khathab r.a ketiak salah seorang pegawainya masuk kerumahnya. Orang itu melihat umar bermain-main dengan anak-anaknya, kemudian dia mengingkari perbuatan umar tersebut. Maka umar berkata kepadanya,”apa yang kamu lakukan kepada keluargamu?” orang itu menjawab, “ jika aku masuk, maka diamlah mereka.” Umar r.a berkata,” tinggalkan tugas yang kamu emban, karena jiak kamu tidak bersikap lemah-lembut pada istri dan anakmu, kamu oasti tidak akan bersikap lemah lembut pada umat muhammad saw.”

8.        Wa’iy (pengetahuan yang luas)
Wa’iy atau pengetahuan yang luas, adalah kaharusan bagi seorang dai untuk membekali dirinya dengan berbagai wawasan dan pengetahuan, baik yang berkaitan dengan agama, pemikiran, politik, ataupun masalah gerakan dakwah itu sendiri.
Seorang dai tidak boleh meninggalkan realitas dan hakikatnya, tidak boleh juga berpegang kepada sesuatu yang berlebihan, karena dawah membutuhkan akal seorang insiyur yang piawai dan kecerdasan seorang dokter yang berpengalaman untuk melakukan pembersihan. Kemudian diiringi dengan menghiasi diri, yaitu degan berbagai keutamaan, sehingga terwujudlah masyarakat yang diidam-idamkan. Dia tegak diatas perencanaan yang rapi, karena harakah yang rusak tidak mendatangkan kebaikan dan tidak memberikan manfaat, sebagaimana tutur kata yang tidak tersusun itu juga tidak membawa pengaruh yang baik.
Oleh karena itu, seorang dai harus mempelajari lingkungan tempat dia  berada dengan studi yang mendalam, sehingga ia mengetahui kekurangan-kekurangan dan penyakit yang ada pada lingkungan itu. Setelah itu ia melakukan diagnosis. Lalu berfikir tentang metode terapi yang tepat, bukan asal-asalan. Ia berusaha mengenali akal manusia, kesiapan, tingkat bepikir mereka, serta keluasan wawasannya. Karena tidaklah tepat jika seorang dai menyikapi lingkungan pedesaan sebagaimana menyikapi lingkungan kota, atau mempergauli masyarakat terpelajar sebagaimana dengan masyarakat awam. Intinya, seorang dai harus berbicara kepada setiap kaum dengan memperhatikan keadaan dan bahasa yang mereka pergunakan.
Demikianlah, sesungguhnya dai selain membutuhkan fiqih, ilmu, dan perencanaan, juga membutuhkan dua sayap, yaitu sayap ketakwaan agar ia benar-benar total dalam beramal kepada Allah SWT dan sayap kepekaan agar ia dapat terhindar dari tipu daya, rencana jahat, dan makar musuh, betapa banyak orang yang bertakwa, tetapi ia tidak memiliki kepekaan, sehingga ia jatuh dalam perangkap musuh, dan betapa banyak dari dai yang tidak memiliki ketakwaan yang akhirnya tenggelam dalam kenikmatan dunia dan mengikuti hawa nafsunya.

C.           PENUTUP
Demikianlah hasil makalah yang penulis buat, penulis menyadari banyak terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, untuk itu penulis mengharapkan saran, kritkan dan sanggahan dari dosen pembimbing dan teman-teman.







DAFTAR RUJUKAN

Abduh, Muhammmad. 2005. Komitmen Dai Sejati. Al-I’tishom Cayaha Umat: Jakarta-Timur
An-Nabiry, Fathul Bahri. 2008. Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Dai. Amzah: Jakarta
Aziz, Jum’ah Amin Abdul. 2005. Fiqh Dakwah. Era Intermedia: Surakarta
Hamka. 1984. Prinsip dan Kebijaksanaan Da’wah Islam. Pustaka Panjimas: Jakarta
Keluarga Besar BPI-09. 2012. Metode dakwah.
Munir, M. 2006. Metode Dakwah. Kencana: Jakarta
Saifudin, Muhammad. 2007. Al-Qur'anulkarim Terjemah Tafsir Perkata. Syaamil Al-Qur'an: Bandung
Salmadanis. 2004. Dai dan Kepemimpinan. Minangkabau Foudation: Jakarta- Barat


[1] Salmadanis, da’i dan kepemimpinan, minangkabau foundation, jakarta barat: 2004, h. 22
[2] Jum’ah Amin Abdul Aziz, FIQH DAKWAH, Era Intermedia, Solo: 2005, h. 74
[3] Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Dai, Amzah,Jakarta: 2008, h. 162
[4] Yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas keagamaan.
[5] Lihat, QS. At-taubah:128
[6] Lihat, QS. Ali-imran:159
[7] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
[8] Hamka, prinsip dan kebijaksanaan da’wah islam.pustaka panjimas, jakarta: 1984, h. 230

Tidak ada komentar:

Posting Komentar