Rabu, 17 Juni 2015

FIQIH DAKWAH

MENGENAL SEBELUM MEMBERI BEBAN
Oleh: Eka & Meta
A.      PENDAHULUAN
Menjadi seorang da’i yang sesungguhnya tidaklah mudah, harus ada bekal yang mantap dari da’i itu sendiri dalam menyampaikan dakwahnya agar mad’unya bisa menerima apa yang di sampaikannya.
Jadi seorang da’I harus mempunyai prinsip “mengenal sebelum member beban” karena jika mad’u yang kita dakwahi langsung kita beri beban padahal belum kenal betul dengan apa yang diperintahkan kepadanya, maka mad’unya akan lari dari apa yang kita dakwahkan kepadanya.
Jadi prinsip mengenal sebelum member beban (at-ta’rif qabla at-taklif) juga sebagai upaya seorang da’i untuk membuat senang mad’unya dalam menggeluti kebenaran, dan agar dapat mendorong mereka untuk beramal dengan kebenaran itu, dan menjelaskan tentang besarnya pahala yang di janjikan atas setiap orang yang mau berbuat dengan apa yang diperintahkan oleh Allah.

B.       PEMBAHASAN
Kebanyakan dari para da’i tidak memperhatikan prinsip yang cukup penting ini. Prinsip yang seharusnya dipenuhi dalam rangka meluluhkan hati sang objek dakwah, sebagai pengkondisian dan persiapan baginya untuk medengar kebenaran yang hendak diserukananya. Prinsip ini yaitu, at-ta’rif qabla at-ta’lif, juga sebagai upaya untuk mebuat senang dalam menggeluti kebenaran, mendorong mereka untuk beramal dengan kebenaran itu, dan mejelaskan tentang besarnya pahala yang dijanjikan atas setiap orang yang mau berbuat demikian[1],
Jadi merupakan suatu kepentingan yang harus dijelaskan oleh seorang da’i secara rinci apa-apa yang ingin mereka sampaikan kepada para mad’unya (objek dakwah), sebelum menugaskan suatu tugas kepada mereka, juga seorang da’i harus memeberi tahu sumber ta’lif atau landasan beramal, agar hati orang yang beramal mantap dan menambah kesungguhannya dalam ketaatan.  Hal ini mejadi penting dalam berdakwah karena apabila seoarng da’i tersebut telah mengemukakan dakwahnya berupa pengenalan secara baik maka hati manusia akan terbuka untuk menerimanya dan mereka menjadi senang untuk melaksanakannya.
Kalimat yang dibawa oleh seorang da’i dalam berdakwah tentunya adalah kalimat yang baik yaitu “La Ilahaillallah”, ini merupakan sebuah kalimat yang akarnya tertancap kuat dak batangnya menjulang tinggi kelangit. Dan setiap saat berbuah dengan seijin Rabbnya.
Karena kepercayaan seorang da’i terhadap hasil  dakwah dari prinsip ini, maka dia berkata kepada seluru manusia sebagai mana tertera dalam al-qu’ran QS. Ali Imran ayat 64:

ö@è% Ÿ@÷dr'¯»tƒ É=»tGÅ3ø9$# (#öqs9$yès? 4n<Î) 7pyJÎ=Ÿ2 ¥ä!#uqy $uZoY÷t/ ö/ä3uZ÷t/ur žwr& yç7÷ètR žwÎ) ©!$# Ÿwur x8ÎŽô³èS ¾ÏmÎ/ $\«øx© Ÿwur xÏ­Gtƒ $uZàÒ÷èt/ $³Ò÷èt/ $\/$t/ör& `ÏiB Èbrߊ «!$# 4 bÎ*sù (#öq©9uqs? (#qä9qà)sù (#rßygô©$# $¯Rr'Î/ šcqßJÎ=ó¡ãB ÇÏÍÈ     
Artinya:  Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS ali-Imran ayat 64)

Ayat diatas mengandung tauhid dalam ketuhanan, seperti yang tersurat dalam firman-Nya (allana’budu illallah), serta tauhid dalam ketuhanan yang tersurat dalam firmannya ( walayattakhiju ba’duna ba’dan arbaban min dunillah). obyek ini telah disepakati dalam semua agama. Nabi ibrahim datang dengan membawa ajaran tauhid, Nabi musa juga dengan tauhid dalam taurat telah disbutkan dengan menyitir firman alllah,” sesungguhnya Allah adalah tuhanmu, janganlah kamu mempunyai tuhan lain dihadapan-Ku. Janganlah kamu membuat patung pahatan untukmu, dan juga gambar apapun berupa apapun, yang ada dilangit atasa, dan dibumu bawa serat berupa apapun yang ada dalam air dibawah tanah. Janganlah kamu bersujud kepada mereka dan janganlah kamu  .“   [2]
Abu Ja’far berkata : maksud dari ayat diatas adalah, “ katakanlah wahai muhammad kepada ahli kitab yakni ahli taurat dan injil, marilah kita berpegang teguh kepada kalimat yang sama diantara kami dan kalian! Kalimat yang sama itu adalah, kita mengesakan Allah, maka kita tidak beribadah kepada selainnya, dan tidak menyekutukan-Nya.[3]
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwasanya dalam berdakwah suatu intisari yang harus kita sampaikan adalah kalimat-kalimat tauhid melalui prinsip dakwah ini yaitu at-ta’rif qabla at-taklif.
Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang sifatnya mengajar dan mendidik manusia agar menjadi manusia ber Tuhan dan beragama yang betul.]

Hal hal yang perlu kita perhatikan untuk menerapkan prinsip at-ta’rif qabla at-taklif : 

1.         Kebutuhan kaum muslimin terhadap pemahaman yang benar
Pada zaman saat sekarang ini kita lihat sebagian kalangan kaum muslimin mempropagandakan kepada saudaranya sesama muslim bahwa berpegang teguh kepada islam dan mengamalkan syariatnya merupakan fanatisme  dan mengkesampingkan keberadaan umat non muslim. Atau mereka berkata, “ sesunggahnya agama islam itu hanya sesuai dengan zaman dulu dimana islam datang pertama kali. Artinya islam hanya bersifat lokal, hanya untuk orang- orang Arab masa lalu, karena itu dia tidak mampu memenuhi tuntunan zaman. “ mereka juga mengatakan, “ sesungguhnya melaksanakan hukum-hukum syar’i (pidana Islam) itu terkesan keras atau seram dihadapan manusia, padahal seorang dokter itu menyembuhkan bukan menyakiti.”
Hal seperti ini yaitu fitnah dan syubhat  memerlukan kejelasan, penjelasan, dan pengenalan melalui kerja dakwah. Seorang muslim harus mengenal hakikat islam secara baik. Karenanya kita bedakan antara sikap tengah (i’tidal) dengan sikap ekstrim (tatharuf), antara fanatik (ta’ashub) dengan komitmen (tamasuf), antara terorisme (irhab) dengan menegakkan kewibawaan islam.[4]
Semua itu harus dijelaskan oleh seorang da’i dengan perkataan yang baik, pengajaran yang baik dan kalaupun berdebat, maka dengan debat yang lebih baik, disertai dengan argumen-argumen yang kuat.
Al-Qur’an diturunkan untuk mengenalkan kepada manusia tentang empat persoalan, sebelum memberi beban  kepada mereka dengan perintah apa pun. Empat persoalan itu adalah:
a.         Mengenalkan kepada mereka tentang Rabb (yang menciptakan, memberi rezeki, dan memelihara) mereka, agar mereka beribadah kepada-Nya
b.        Mengenalkan akan diri mereka, agar mereka memahami hakikat keberadaan atau eksitensi mereka.
c.         Mengenalkan tentang alam semesta, agar mereka menggunakan dan memakmurkannya.
d.        Mengenalkan kepada mereka tentang akhir perjalanan hidup yang menanti-nanti mereka di akhirat. Ini semua agar mereka memiliki presepsi yang benar dan keyakinan yang lurus, sehingga perilakunya menjadi benar.

2.         Menghormati Sumber Perintah
Dengan memuliakan pihak yang memerintahkan, maka akan berakibat pada memuliakan penyampaian atau mubalighnya, yakni Rasulullah Saw, menghormati dan mencintainya. Allah berfirman: Q.S Ali-Imran ayat 31:
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÊÈ  
Artinya: Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.( Q.S Ali-Imran ayat 31:)
Karenanya, seorang muslim tidak boleh memanggil nama Rasulullah seperti memanggil nama sebagian kita atas sebagian yang lainnya, kita harus memuliakannya ketika memanggilnya. Kita tidak boleh meninggikan suara di atas suara Nabi, seperti suara ketika berbicara dengan sesama kita. Allah berfirman: Q.S al-Hujurat ayat 2:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#þqãèsùös? öNä3s?ºuqô¹r& s-öqsù ÏNöq|¹ ÄcÓÉ<¨Y9$# Ÿwur (#rãygøgrB ¼çms9 ÉAöqs)ø9$$Î/ ̍ôgyfx. öNà6ÅÒ÷èt/ CÙ÷èt7Ï9 br& xÝt7øtrB öNä3è=»yJôãr& óOçFRr&ur Ÿw tbrâßêô±s? ÇËÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (al-Hujurat ayat 2)
3.         Etika Menerima Tugas
Yang didahulukan dalam mempelajari Islam adalah penerimaan kita terhadap segala sesuatu yang datang dari Allah. Kita harus membaca atas nam Allah sesuai dengan ayat yang pertama kali Allah turunkan.Q.S al-‘Alaq ayat 1-3:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ  
Artinya: 1.  Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2.      Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.      Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. (Q.S al-‘Alaq ayat 1-3:)

4.         Ketaatan Adalah Buah Pengetahuan
Ketika para pengikut Rasullah memahami hal tersebut, mudah bagi mereka untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya. Kita saksikan saat khamr diharamkan, mereka langsung menerima pelarangan itu. Imam bukhari menceritakan kepada kita bahwa Rasulullah pernah shalat dengan memakai kedua sandalnya, sehingga kaum muslimin ikut shalat di belakangnya dengan memakai sandal mereka juga. Tiba-tiba Rasulullah melepaskan kedua sandalnya ke sebelah kiri, sedang beliau dalam keadaan sholat, maka kaum muslimin pun melepaskan sandal dan melemparkan ke sebelah kiri mereka. Ketika selesai sholat Rasulullah bertanya,”mengapa kalian melepas sandal kalian?” mereka menjawab,”kami melihat engkau melepas kedua sandalmu, kemudian emgkau melemparkan kesebelah kiri, maka kami pun melepas dan melemparkannya kesebelah kiri kami.” Nabi bersabda,”sesungguhnya Jibril telah datang kepadaku, dan memberitahu bahwa di kedua sandalku ada kotoran (najis).
Alangkah kuatnya ketaatan mereka, dan alangkah mereka dalam mengikuti Rasulullah. Masih banyak teladan yang dapat kita gali dari kehidupan sahabat Rasulullah tentang ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.

5.         Seruan Kepada Iman Sebelum Pekerjaan dan Tugas
Sebelum Allah mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya kewajiban shalat, zakat atau puasa, atau melarang riba, zina, khamr, dan yang lainnya, Dia memanggil mereka dengan yang menyenangkan hati yaitu , “ya ayyuhalladzina amanu.. lakukanlah yang demikian dan tinggalkan yang demikian.” Yaitu artinya hai orang-orang yang beriman.
Atau Allah memanggil dengan,”Qul ya ‘ibadi..,” atau “wa’ibadurrahmanni...” Allah menyandarkan kata ‘ibad kepada Dzat-Nya. Hal itu tiada lain kecuali untruk memuliakan  mereka.
Tapi banyak terjadi saat sekarang ini kadang-kadang mereka tergesa-gesa dalam menghadapi manusia, dan memberikan beban yang akan dipikul mereka, sebelum memperkenalkan dakwah mereka atau mengenalkan kepad Rabny.

6.         Apa Lagi Setelah Pengenalan
Pengenalan yang benar merupakan langkah awal yang harus dilakukan. Setelah selesai mengenalkan kebenaran, hal pertama kali yang harus dilakukan oleh penegak kebenaran adalah membuka mata orang lain untuk melihat sinarnya, dan membritahukan kepadas mereka orang-orang yang tidak tahu terhadap kebenaran serta menjadikan kebenaran itu dalam kehidupan ini menjadi jelas, sejelas sinar matahari, dan menyebar laksana gelombang udara.
Terkadang sebagian da’i menganggap, bahwa Islam telah tersampaikan, sehingga tidak ada alasan bagi seorang pun untuk mendakwahkannya, karena muslimin telah mengenal agamanya. Mereka juga mengatakan bahwa dakwah telah tersebar ke seluruh penjuru dunia, sehingga tidak ada lagi orang yang mebutuhkan penjelasan. Hal seperti adalah sangat keliru sekali apabila dimiliki seorang da’i. Karena seperti kita tahu perputaran zaman dan misi-misi orang-orang kafir akan senantiasa selalu memudarkan dan menghancurkan pemahaman umat terhdap Islam. Untuk tidak ada kata dakwah akan berhenti.

7.         Mengenal Tahap-tahapan Dakwah
Setiap dakwah haruslah mepunyai tiga tahapan yaitu:
a.         Tahap pengenalan terhadap pola fikir
Fase pengenalan merupakan fase yang terpenting, karena merupakan titik awal dalam meniti perjalanan dakwah. Kesalahan atau penyimpangan yang kalau terjadi dalam tahap ini akan menimbulkan akibat buruk, yakni akan jauhnya manusia dari jalan dakwah yang seharusnya.
b.        Tahap pembentukan, seleksi pendukung, dan kaderisasi serta pembinaan anggota dakwah.
Umat sangat membutuhkan seorang da’i yang memiliki pemahaman yang benar, yang mengenal bagaimnana cara membentuk, serta mampu menyeleksi pendukung dan menciptakan kaderisasi dakwah.
c.         Tahap aksi dan aplikasi
Dalam bertindak atau melakukan aksi janganlah terlalu tergesa-gesa, sehingga bagaikan memetik bunga yang belum mekar. Para da’i melakukan aksi dan aplikasi ini hendaknya dengan beberapa cara pendekatan yaitu:
                                           I.              Pendekatan personal
Pendekatan dengan cara individual antara da’i dan mad’u langsung bertatap muka.



                                        II.              Pendekatan pendidikan
Pendekatan pendidikan salah satunya dengan cara mendirikan lembaga-lembaga pendidikan pesantren, yayasan yang bercorak Islam, perguruan tinggi Islam dan lain-lain.
                                     III.              Pendekatan diskusi
Pendekatan ini sering dilakukan lewat berbagai diskusi keagamaan, da’i berperan sebagai nara sumbernya, sedangkan mad’u sebagai audience.
                                     IV.              Pendekatan penawaran
Pendekatan yang dilakukan dengan cara memberi pilihan tanpa paksaan.
                                        V.               Pendekatan misi
Yaitu salah satunya dengan cara mengirim tenaga para da’i kedaerah-daerah di luar tempat domisili.[5]
Seorang da’i haruslah mengetahui tahapan dakwah yang dilaluinya dan di mana dia sedang berinteraksi dengan objek dakwahnya, karena dengan demikian akan dia tidak akan lagi mencampur adukkan antara satu dengan lainnya.

Nabi Muhammad SAW juga telah mencerminkan kepada kita bagaimana tahap-tahap dakwah yang telah beliau lalui, yaitu sebgai berikut:
a.         Ta’rif (pengenalan)
Ø  Secara sembunyi-sembunyi
Ø  Secara terang-terangan
b.         Tahkim
Yaitu tahap pembentukan, seperti ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan cara mendirikan mesjid yang pertama yaitu mesjid Quba.

c.         Taudi’
Yaitu tahap pelepasan artinya ini seprti di tandai ketika Nabi Muhammad melaksanakan haji Wada’.

8.        Stiqah (kepercayaan) di Jalan Allah
Kita sebagai seorang da’idi haruskan memberikan penjelasan kepada mad’u kita sebelum sebelum kita memebrikan tugas degan berbagai beban yang harus dia bawa diperjalanannya nanti. Karna dijalan dakwah ini selalu ada rintangan yang berat bagi da’i  itu sendiri tetapi ahirnya kemengan akan berada dipihak orang yang memeberi kebenaran. Sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al- mujadilah:21
|=tFŸ2 ª!$# žútùÎ=øîV{ O$tRr& þÍ?ßâur 4 žcÎ) ©!$# ;Èqs% ÖƒÍtã ÇËÊÈ    
Artinya: Allah telah menetapkan: "Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang". Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa. (al-Mujadillah: 21)
Oleh karena itu seorang da’i harus memberitahukan kepada orang-orang yang menempuh perjalanan dakwah tentang urgensi kepercayaan (tsiqah) sehingga itulah nanti yang dapat mengantarkan mereka kepada tujuan yang diinginkan, agar mereka tidak tersesat ditengah jalan.
Sehingga seorang da’i harus menentukan tujuan-tujuan (sasaran-sasaran) yang harus dicapai sebagaimana da’i juga harus menentukan tahapan-tahapan yang akan ditempuh dalam aktivitas dakwah. Agar langkah-langkah jelas sesuai dengan target yang hendak dicapainya.

C.       PENUTUP
Sekian makalah kami. Semoga bisa bermanfaat bagi pembaca semuanya. Dan penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca semuanya, demi kesempurnaan tulisan- tulisan berikutnya.

DAFTAR BACAAN
Abu ja’far muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Tabari, Pustaka Azzam, Jakarta: 2008
Ahmad mustafa al-maraghi,Tafsir al-maraghi,pt. toha putra, semarang:1993
Al-Qur'an dan terjemahan digital
M. Munir, S.Ag., MA, Metode Dakwah, Pt. Kencana, Jakarta: 2009
Moh ali aziz, ilmu dakwah, pt. Fajar iterpratama offest,  Jakarta: 2009
Natsir,M. Fiqhu Dakwah,media da’wah:1989
Prof. A.Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, Pt. Bulan Bintang, Jakarta:1984



[1]  Jum’ah Amin Abdul Aziz, fiqh dakwah, pt. Era inter media:2005, hal 282.
[2]  Ahmat Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid I,Pt. Karya toha putra, semarang:1992, hal 308
[3] Abu ja’far muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Tabari, Pustaka Azzam, Jakarta: 2008, hal 441
[4] Jum’ah Amin Abdul Aziz, fiqh dakawah, pt. Era inter media:2005, hal 283-284

[5] . M. Munir, S.Ag., MA, Metode Dakwah,Vol 3, Pt. Kencana, Jakarta. 2009. Hal 21-23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar