MEMUDAHKAN BUKAN MENYULITKAN
Oleh : Hafizul & Siska
A.
PENDAHULUAN
Bicara
mengenai dakwah, tak akan lepas dari satu hal ini, yaitu hikmah. Hikmah ini
bukanlah seberapa besar kebaikan yang diberikan. Hikmah adalah bagaimana kita
peka terhadap kebutuhan mad’u/obyek dakwah. Seberapa manfaat yang dapat
diberikan pada mad’u. Kemudian karenanya mad’u terlekatkan hatinya pada dakwah,
kebenaran, dan kebaikan.
Dalam
menyampaikan dakwah islam, banyak hal yang harus diketahui oleh seorang da’i,
bukan hanya berkewajiban menyampaikan apa yang diperintahkan dalam quran dan
hadist saja, namun bangaimana dakwah atau pun ajaran dalam quran dan hadist
tersebut bisa teraflikasikan di kehidupan sehari-hari di masyarakat. Banyak di
zaman sekarang ini yang menganggap dirinya seorang da’i dan dalam berdakwahnya
penuh semangat dan perjuangan, namun banyak hal yang tidak diperhatikan atau
mungkin tidak tahu dengan permasalahan-permasalan yang akan membuat dakwahnya
tersebut tidak berjalan lancar. Diantaranya ialah dalam berdakwah tidak adanya
perhatian atau menggunakan kaidah (memudahkan dan bukan menyulitkan).
3 ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# (
Artimya : Allah
menginginkan kemudahan bagi kamu, dan Dia tidak menginginkan kesulitan bagimu.”
(Al-Baqarah: 185).
Diantara
upaya mempermudah itu adalah menjauhi sikap sok fasih (tafashshuh) dan berlebihan
dalam berbicara. Yang paling penting, dai perlu menghubungkan antara tema yang ia
bicarakan dengan realitas yang sedang dihadapi oleh objek dakwah, dengan cara
membuat ilustrasi yang mudah dipahami, membangkitkan perhatian, dan menggunakan
perbandingan dengan hal-hal serupa. Dai juga hendaknya mengikutsertakan objek
dakwah dalam pembicaraan dengan suasana dialogis (komunikasi dua arah), agar
dapat diukur sejauh mana pengertian yang dapat ditangkap oleh objek. hendaknya
pula tidak berlebihan dalam melontarkan pertanyaan-pertanyaan pada objek
dakwahnya, sebelum ia yakin bahwa dia sendiri menguasai jawabannya beserta
seluruh argumentasi dan dalil-dalilnya. Nabi bersabda (diriwayatkan oleh Anas
bin Malik) “Permudahlah, jangan dipersulit, besarkan hati jangan membuat orang
lari.” (HR.Bukhari).
B.
PEMBAHASAN
Setiap
da’i wajib melihat objek dakwahnya dengan jiwa dan pandangan seorang pendidik
yang penuh kasih sayang, rendah hati dan pemaaf. dia senantiasa mengharap
kebaikan atas diri objek dakwahnya.
Bukan sebaliknya memeandang objek dakwah dengan pandangan penuh kepura-puraan,
sok alim, dan berusaha menampilkan kesan dihadapan mereka bahwa dirinya adalah
yang paling pintar dimuka bumi. Apabila dia berbicara dia ingin agar semua
manusia diam dan mendengarkan dan jika memerintah ia ingin agar semua orang
menuruti perintahnya.
Tersebut
dalam kitab shahih bukhari muslim, dari ubay bin Ka’ab, bahwa rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya Musa a.s pernah berdiri sebagai khatib di hadapan bani
israil, lalu Musa ditanya tentang siapakah manusia yang paling alim. Musa
menjawab, “aku” serta merta Allah ta’la mencelanya karena masih ada ilmu yang
belum sampai kepadanya. Kemudian Allah memberi wahyu kepadanya bahwa Allah
mempunyai seorang hamba yang tinggal di pertemuan dua lautan yang lebih alim
dari pada Musa dan Allah memerintahkan Musa datang dan berguru kepadanya”
Itulah
kisah Musa bersama khaidir. Bila kita baca kisah itu bahwa ilmu yang diberikan
oleh Allah kepada khidir adalah sulit bagi Nabi Musa untuk menangkap dan
memahaminya. Hal ini untuk menunjukkan kepada musa bahwa dia bukanlah yang
terpandai. Masih ada orang yang lebih alim dari dirinya.
Dari
sinilah, seorang da’i wajib berbicara sesuai dengan kadar akalnya, sehingga
memudahkan apa-apa yang terasa sulit dan menjelaskan apa-apa yang belum jelas
bagi mereka. Seorang da’i tidak perlu menampakkan penampilan seakan
sebagai seorang yang alim dan bijak, agar dikatakan oleh manusia bahwa dia
adalah seorang yang alim. Karena kalau demikian yang terjadi, maka amalnya akan
terhapus dan sia-sia. Sebaliknya tugas pokok baginya adalah membari kemudahan
kepada manusia, dan diantara upaya memudahkan itu adalah menjauhi sikap sok
fasih (tafashuh) dan berlebihan dalam berbicara. Ini adalah suatu sikap dan
perbuatan yang dituntut untuk dimiliki oleh setiap da’i. Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya orang yang paling aku
benci diantara kamu dan yang paling jauh dariku dihari kiamat dalah orang yang banyak
bicara, orang yang mulutnya penuh dengan omong kosong dan orang yang suka
menonjolkan kelebihan dirinya dihadapan orang lain. (HR. Tirmidzi)”.
Seorang da’i harus menghindarkan dirinya dari
perangkat setan, halusnya riya’ serta godaan yang memperindah hawa nafsu yang
memaksanya untuk berbuat kemaksiatan, sehingga amal baiknya terhapus. ALLAH
berfirman dalam surat Al-kahfi ayat: 110
ö@è%
!$yJ¯RÎ)
O$tRr&
×|³o0
ö/ä3è=÷WÏiB
#Óyrqã
¥n<Î)
!$yJ¯Rr&
öNä3ßg»s9Î)
×m»s9Î)
ÓÏnºur
(
`yJsù
tb%x.
(#qã_öt
uä!$s)Ï9
¾ÏmÎn/u
ö@yJ÷èuù=sù
WxuKtã
$[sÎ=»|¹
wur
õ8Îô³ç
Íoy$t7ÏèÎ/
ÿ¾ÏmÎn/u
#Jtnr&
ÇÊÊÉÈ
Artinya: katakanlah: Sesungguhnya aku
ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa
Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan
janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (Q.s Al-kahfi 110)
Yang paling penting
untuk dioperharikan seorang da’i dalam upaya menarik perhatian pendengarnya
saat berbicara dengan mereka adalah menghubungkan dengan tema yang dia
bicarakan dengan realitas yang sedang dihadapi dengan objek dakwah, dengan cara
membuaat ilustrasi-ilustrasi yang mudah dipahami, dan menggunakan ragam uslub
yang membangkitkan perhatian, serta menggunakan perbandingan-perbandingan
dengan hal-hal yang serupa.
Atau bisa juga
menampilkan hal-hal yang berlawanan dengan topik yang sedang dibahas untuk
mempertajam pemahaman. Misalnya ketika membahas masalah kejujuran (siddiq), maka bisa
dipertentangkang dengan sifat dusta (kidzib), atau dengan contoh dua orang,
yang satu jujur dan yang lain pendusta yang tidak pernah berbicara benar.
Dengan demikian, audiens mudah memahami pesan yang disampaikan dan mampu
membedakan yang baik dan yang buruk.
Pada saat yang sama, seorang
da’i hendaknya tidak berlebihan dalam melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada
objek dakwahnya, sebelum dia yakin bahwa dia sendiri menguasai jawabannya
beserta seluruh argumentasi dan dalil-dalilnya. Jika tidak, maka dia akan
terajerjerumus kedalam kesulitan yang dibuatnya sendiri, dimana hal itu justru
akan mengurangi kepercayaan sang objek dakwah kepada dirinya.[1]
Salah satu
karakteristik agama Islam adalah mudah, tidak menyulitkan. Dalam surat Al-Baqarah
ayat 185 seperti yang
di sebutkan diatas, “Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu....”
Nabi saw bersabda,
“Permudahlah dan jangan kamu persulit, gembirakanlah dan jangan membuat mereka
berlari,” (Muttafaq ‘alaih, lihat Al-Nawawi, Riyad al-Shalihin, Cairo
: Dar al-Taqwa, juz 1, hlm 367).
Setiap da’i harus mengetahui
bahwa setiap hukum dalam syari’at Islam, baik perintah maupun larangan,
bertingkat-tingkat. Ada perintah ibadah yang hukumnya wajib ‘ain
(harus dilakukan setiap individu), ada juga yang hukumnya wajib kifayah
(cukup sebagian orang yang melakukan kewajiban tersebut). Di samping itu, ada
perintah yang tidak sampai kepada batasan wajib, yaitu sunah, terbagi atas mu’akadah
yang ditekankan untuk dapat dilakukan, menyerupai hukum wajib, dan ghoiru
mu’akkadah yang tidak terlalu ditekankan.
Terkait dengan
larangan, ada yang hukumnya haram sebagai larangan keras, dan makruh, larangan
yang tidak terlalu keras. Jika dalam kondisi sulit, perintah dan larangan
ibadah dalam Islam tersebut menetapkan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan
sebagai penggantinya. Namun, bukan berarti perintah ibadah dapat seenaknya
diganti dan diubah. Meski ia sebagai perintah ibadah namun tetap didasarkan
kepada kemampuan manusia sebagai mukalafnya. Allah berfirman,
w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) $ygyèóãr
Artinya :“Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...,” (QS Al-Baqarah [2]: 286).
Dai yang tidak
mengetahui tingkatan hukum syariat dapat dipastikan dakwahnya akan membuat mad’u
lari dan merasa sulit untuk melakukan suatu amalan. Hal itu karena dai
menganggap semuanya sama dalam tingkatan hukum.[2]
Diantara metode yang
menyejukkan yang ditempuh oleh Rasulullah dalam berdakwah yaitu mempermudahkan
dan tidak mempersulit serta meringankan bukan memberatkan begitu melimpah
al-quran maupun teks as-sunnah yang memberikan isyrat bahwa memudahkan itu
lebih disukai Allah dari pada mempersulit.
ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$#
Artinya
: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Qs
Al-Baqarah : 185)
ßÌã ª!$# br&
y#Ïeÿsä öNä3Ytã 4 t,Î=äzur ß`»|¡RM}$# $ZÿÏè|Ê ÇËÑÈ
Artinya
: Allah hendak memberikan keringanan kepadamu[286], dan manusia dijadikan bersifat
lemah
Bahwa
Allah tidak pernah ingin menyulitkan hamba-hambanya, segala apa yang
diperintahkan hanyalah kesanggupan dari manusia itu sendiri, kelemahan manusia
tidak perlu dijadikan sebagai alas an untuk melakukan sesuatu karna kelemahan
itu telah di berikan oleh Allah bukan untuk tidak melakukan sesuatu apapun,
keringanan yang Allah berikan adalah suatu kekuatan untuk melakukan apa-apa
yang telah Allah perintahkan.
Yaitu
dalam syari'at di antaranya boleh menikahi budak bila telah cukup syarat-syaratnya.
ßÌã ª!$# @yèôfuÏ9 Nà6øn=tæ
ô`ÏiB 8ltym
Artinya
: Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu.
Dalam
shohih Bukhari disebutkan ketika Rasulullah mengutus sahabatnya (untuk
berdakwah) bersabda: “mudahkan jangan kalian persulit berikan kabar gembira
jangan buat mereka lari.
Dalam
hadits lain disebutkan “ tenangkan jangan kalian takut-takuti” Abu Hurairoh
pernah menggambarkan bahwa pernah seorang Arab kencing di masjid dengan serta
merta orang disekelilingnya berdiri dan ingin memukulinya. Kemudian Rasulullah
besabda: Tinggalkanlah dia dan tuangkanlah air di atas kencingnya atau seember
air. Sesungguhnya aku diutus untuk mempermudah bukan mempersulit”.
Dari Syaidatina
Aisyah r.a beliau Berkata : Rasulullah tidak pernah memilih antara dua perkara
sama sekali melainkan memilih yang paling mudah diantara keduanya selama tidak
berdosa. Tetapi, jika ada dosa ketika
memilih yang mudah maka Rasulullah adalah paling jauh darinya.
Rasulullah
yang mulia juga bersabda: sebaik-baiknya agamamu adalah yang paling memberikan
kemudahan. Kemudian: sesungguhnya allah SWT. Senang apabila dikerjakan ruhsoh
yang diberikan-Nya sebagaimana ia benci jika dikerjakan kemaksiatan (kepada)
Nya.
Mengkaji
hadits-hadits Rasulullah yang sesuai dengan semangat Al-quran di atas tampaknya
kita lebih banyak membutuhkan pendekatan dakwah yang memudahkan dan
menggembirakan dari pada memberatkan dan menyulitkan, apalagi apabila dakwah
itu ditujukan kepada mad’u yang baru memeluk agama Islam atau yang melakukan
taubat.[3]
Banyak conton yang menunjukkan bahwa Allah juga selalu mempermudan hambanya dan
bukan mempersulit hambanydalam segala hal misalnya:
a.
Bersama Allah melalui kitabnya
ö@è% uqèd
ª!$#
îymr&
ÇÊÈ ª!$#
ßyJ¢Á9$#
ÇËÈ öNs9
ô$Î#t
öNs9ur
ôs9qã
ÇÌÈ öNs9ur
`ä3t
¼ã&©!
#·qàÿà2
7ymr&
ÇÍÈ
Artinya : Katakanlah:
"Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia." (Q.S Al-Ikhlas 1-4)
Surat ini
mengandung pilar terpenting mengenai dakwah Nabi. Yakni penjelasan tentang
prinsip tauhid dan mensucikan Allah. Dan juga tentang batasan secara umum bagi
amal perbuatan, dengan penjelasan amalan-amalan shaleh dan lawannya.[4]
b.
Melalui shalat
Allah memudahkan pelaksanaan shalat dan menghilangkan
kesulitan dalam masalh wudhu’, padasat air sulit didapatkan atau sebab yang
lainnya. Dalam kondisi seperti itu, bahkan jika air dan debu tidak mereka
dapatkan, mereka tetep bias shalat. ‘shalatlah kamu dengan berdiri, jika tidak
mampu maka dengan duduk, dan jika tidak mampu maka diatas lambungmu (muring).
c.
Melalui puasa
ãöky tb$ÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù yÍky ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuù=sù ( `tBur tb$2 $³ÒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 3 ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd öNà6¯=yès9ur crãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ
Artinya : (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.(Qs. Al-baqarah : 185)
d.
Melalui haji
Kita sering menyaksikan perselisihan pendapat
dikalangan umat islam tentang manasik haji. Banyak diantara mereka yang
berlebihan dalam berbicara seputar masalah ini dan merasa paling alim di atas bumi.
Mereka berlebihan dalam menentukan hukum dan aturan pelaksanaan haji, sehingga
justru mempersulit kaum muslimin itu sendiri.
Cobalah simak baik-baik apa yang dikatakan ibmu
Al-Abbar, bahwa seseorang berkata kepada nabi SAW, “saya berziarah sebelum melempar”
nabi berkata “ tidak apa-apa”, orang itu berkata lagi, “saya mencukur sebelum
menyembelih, “nabi menjawab” tidak mengapa”. Dalam riwayat lian disebutkan
bahwa nabi SAW tidak ditanya tentang sesuatu pun kecuali beliau menjawab,
“lakukanlah, itu tidak mengapa” ( HR. Bukhari)
Sebagai ulama mengatakan ,”melanggar dalam manasik
haji itu melanggar sunah.” Ibnu Hazm mengatakan , “mereka tidak menyalahi sunah
dan tidak melanggar sunah, karena ia merupakan sesuatu yang diperbolehkan oleh
Rasullulah SAW, apalagi beliau tidak melihat didalamnya dosa. Tetapi dalam hal
ini mereka sekedar meninggalkan yang lebih afdhal saja.”
Kalian semua, wahai saudaraku para dai, harus
memahami, bahwa masalah tersebut adalah masalah khilafiah antara sunah dengan
mubah, bukan antara wajib dengan mubah, bukan pula sunah dengan bid’ah, yang
paling penting dalam hal ini adalah pelaksanaan, sehingga wajib bagi dai yang
faqih untuk tidak memperberat manusia, apabila mereka mendahulukan atau
mengakhirkan satu dengan yang lain. Setiap dai tidak mempersulit, karena
Rasulullah tela memberikan teladan baik kepada kita dengan mempermudah.[5]
e.
Melalui Jihad
Marilah kita
baca bersama ayat-ayat berikut ini, kemudian renungkanlah bagaimana manhaj
dakwah Al-Qur’an dalam menerangkan kewajiban jihad fi sabillilah. Yakni dengan
uslub yang dapt memperkukuh keyakinan dan menarik hati manusia untuk
mengorbankan jiwanya di jalan Allah dengan penuh keikhlasan. Bahkan gugur
dijalan Allah menjadi cita-cita tertinggi mereka, Allah SWT berfirman,
öNs9r& ts?
n<Î) tûïÏ%©!$# (#qã_tyz `ÏB öNÏdÌ»tÏ
öNèdur î$qä9é& uxtn ÏNöqyJø9$#
tA$s)sù ÞOßgs9 ª!$#
(#qè?qãB
§NèO óOßg»uômr& 4
cÎ) ©!$#
rä%s!
@@ôÒsù n?tã
Ĩ$¨Z9$#
£`Å3»s9ur usYò2r&
Ĩ$¨Y9$#
w
crãà6ô±o
ÇËÍÌÈ (#qè=ÏG»s%ur Îû È@Î6y
«!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$#
ììÏÿx ÒOÎ=tæ
ÇËÍÍÈ
Artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar
dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut
mati; Maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu’, kemudian Allah
menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia
tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. dan berperanglah kamu sekalian
di jalan Allah, dan ketahuilah Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.(Al-Baqarah : 243-244)
Sebelum memerintahkan mereka untuk berperang, Allah
mendahulukan kisah yang sekiranya dapat memperkuat akidah dan menghilangkan
perasaan takut mati, serta memberitahu setiap muslim, bahwa alau ajal sudah
dating tidak bisa dipercepat atau ditunda seseat pun. Tidak bisa diajukan dan
tidak bisa pula diundurkan meski sedetik pun.
Dengan demikian, mereka yang memahami hal ini akan
merasa tenang, karena tangan manusia tidak berkuasa walau sedikit pun untuk
mengurangi atau menambah, memperpendek atau memperpanjang umur seseorang.
Dengan demikian, dia bisa melaksanakan jihad dengan penuh keyakinan dan tawakal
terhadap ketentuan Allah dan menarik apa yang menjadi ketentuannya.
Renungkanlah, semoga Allah memberikan pemahaman
kepadamu mengenai agama ini, bagaimana kisah yang menarik itu mendahuli
perintah jihad, agar jihad itu menjadi ringan dna mudah diterima oleh jiwa
manusia. Demi Allah, jika ini merupakan manhaj Al-Qur’an, mengapa kita tidak
mengikutinya?[6]
Dari sebahagian
contoh diatas bahwa Da’i wajib berbicara dengan
manusia sesuai dengan kadar akalnya, sehingga memudahkan apa-apa yang terasa
sulit dan menjelaskan apa-apa yang belum jelas bagi mereka. “Permudahlah,
jangan dipersulit, besarkan hati, jangan membuat orang lari.” (HR.Bukhari).
Salah satu hal yang meringankan objek dakwah adalah menjarangkan frekuensi
pemberian arahan kepadanya, dengan memperhatikan ketepatannya. “Allah
menginginkan kemudahan bagimu, dan Dia tidak menginginkan kesulitan bagimu...”
(Albaqarah: 185).[7]
Kesuksesan dalam berdakwah tidak lepas dari cara kita memudahkan dan tidak
mempersulit dalam menyampaikan dakwah termasuk cara-cara pelaksanaan apa yang
di sebutkan dalam quran dan hadits. Dan dalam bahadan ini satu hal yang sanat penting ialah memudahkan tapi
jangan dimudah-mudahkan untuk kepentingan yang hanya untuk menguntungkan kita.
C.
PENUTUP
Demikianlah makalah kami. Selanjutnya, untuk lebih
baiknya, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan makalan ini kedepannya. Terima
kasih
DAFTAR BACAAN
Ahmad mustafa al-maragi, terjemahan tafsir
al-maragi, cv toha putra, semarang: 1394
Fiqh dakwah jum’ah amin, artikel, minggu 09-03-13, jam 20:22
Imam punarko, memudahkan bukan menyulitkan,
artikel, minggu 09-03-13, jam 20:15
Jum’ah
Amin Abdul Aziz, Figh Dakwah, Dar Ad-Dakwah, Iskandaria, mesir: 2005
Kaidah-kaidah dakwah, artikel, minggu 09 maret 2013 jam 24:54
M.Munir,S.A,g, MA. Metode dakwah,
cetakan ke-3 jakarta: kencana 2009
Prof. Dr. Moh. Ali aziz, M.Ag, ilmu dakwah,
edisi revisi, kencana pranada media sgroup, Jakarta 2009
Quran dan terjemahan digital
Tidak ada komentar:
Posting Komentar