Rabu, 17 Juni 2015

TAFSIR AYAT-AYAT AHKAM

TAFSIR TENTANG MUSYAWARAH
(Q.S. As-Syura:38)

1.        Q.S. As-Syura:38
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÑÈ  
Artinya: dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.


2.        Mufradat

اسْتَجَابُوا             : Penerimaan yang sangat tulus, tidak disertai oleh sedikit keraguan atau kebencian.
لِرَبِّهِمْ                  : Benar-benar memenuhi seruan Tuhan mereka.
أَمْرُهُمْ                 : Amruhum/ urusan mereka menunjukkan bahwa yang mereka musyawarahkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan urusan mereka serta yang berada dalam wewenang mereka.
شُورَى                  : Mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan memperhadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.

3.        Penjelasan ayat
Ayat di atas menyatakan: Dan kenikmatan abadi itu disiapkan juga bagi orang-orang yang benar-benar memenuhi seruan Tuhan mereka melaksanakan shalat secara bersinambung dan sempurna, yakni sesuai rukun serta syaratnya juga dengan khusyu’ kepada Allah, dan semua urusan yang berkaitan dengan masyarakat mereka adalah musyawarah antara mereka yakni mereka memutuskannya melalui musyawarah, tidak ada di antara mereka yang bersifat otoriter dengan memaksakan pendapatnya; dan disamping itu mereka juga dari sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka baik harta maupun selainnya, mereka senantiasa nafkahkan secara tulus serta bersinambung baik nafkah wajib maupun sunnah[1].
Ayat-ayat di atas adalah ayat menjelaskan tentang musyawarah yang saling memiliki korelasi, bahwasanya al-Qur’an menegaskan perkara apapun yang menyangkut dalam kebaikan, baik mengenai persoalan rumah tangga, persoalan kepemimpinan dan politik, harus diselesaikan dengan jalan musyawarah. Seperti dalam ayat tentang menyapih anak. Ayat ini sebagai petunjuk agar persoalan-persoalan rumah tangga dimusyawarahkan bersama antara suami dan istri, ayat yang senada dengan ayat tersebut ialah Q.S at-Thalaq 65:6 وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ  meskipun dengan kata وَأْتَمِرُوا (berembuklah) yang melahirkan kata “Muktamar[2]
Sedangkan dalam hal kepemimpinana surat Ali-‘Imraan (3) ayat 159, ayat yang diperuntukan bagi nabi SAW yang selain sebagai penyampai risalah,  Rasulullah juga memiliki peran legitimasi politik sebagai seorang imam untuk melaksanakan musyawarah, ayat ini juga sekaligus perintah yang mensyari’atkan musyawarah. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabari, dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan bahwa sesungguhnya Allah SWT memerintahkan nabi SAW untuk bermusyawarah dengan umatnya tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka mengetahui hakikat urusan tersebut dan agar mereka mengikuti jejaknya.
Namun kewajiban melaksanakan musyawarah bukan hanya dibebankan untuk Nabi saja melainkan juga kepada umatnya secara menyeluruh. Dalam masyarakat moderen yang ditandai dengan munculnya lembaga politik dan pemerintahan, lembaga ini menjadi subjek musyawarah, para pemimpinnya di bebani kewajiban melakasanakan musyawarah dengan melibatkan para anggotanya atau rakyat untuk membicarakan masalah yang mereka hadapi[3].
Al-Qurtubi (W. 9 Syawal 671) seorang mufassir yang menukil dari Ibnu Atiah, menulis: “Musyawarah adalah salah satu kaidah syara dan ketentuan hukum yang harus ditegakan. Maka barang siapa yang menjabat sebagai kepala negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama maka ia harus dipecat.
Mengenai objek musyawarah ini at-Tabari, Fahruddin ar-Razi, Muhammad Abduh dan al-Maraghi berpendapat bahwa yang dimusyawarahkan ialah mengenai segala macam permasalahan baik itu berkenaan dengan masalah keagamaan dan permasalahan dunia. Sebab untuk saat ini banyak timbul masalah sosial, politik, ekonomi, pemerintahan, keluarga dan sebagainya yang pemecahannya membutuhkan jawaban dari agama. Dengan ayat tersebut islam menjadikan Syurasebagai prinsip utama dalam menyelesaikan masalah sosial, politik, dan pemerintahan. Syuramerupakan suatu cara untuk memberi kesempatan bagi anggota masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam membuat suatu keputusan yang bersifat mengikat. baik dalam bentuk hukum dan kebijakan politik.
Selanjutnya Ayat tersebut masih memilki korelasi hubungan dengan surat an-Nisa ayat 59 yang menjelaskan kewajiban menaati perintah ulil ‘amri, termasuk penguasa dibidang politik, pemerintahan dan negara.  Tetapi di sisi lain Ayat ini juga menjelaskan batasan ketaatan terhadap ‘ulil amri bahwasanya Islam tidak mengajarkan ketaatan buta terhadap pemimpin. Islam menghendaki suatu ketaatan kritis, yaitu ketaatan yang didasarkan pada tolak ukur kebenaran dari tuhan. Jika pemimpin tersebut berpegang teguh pada tuntunan Allah dan Rasulnya maka wajib ditaati. Sebaliknya, jika pimpinan tersebut bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasulnya, boleh dikritik atau diberi saran agar kembali kepada jalan yang benar dengan cara-cara yang persuasif. Dan jika cara tersebut juga tidak dihiraukan oleh pimpinan tersebut, boleh saja tidak untuk dipatuhi. Selain itu ayat ini juga menegaskan bahwa jika terjadi perselisihaan dalam suatu persoalan antara pimpinan dan bawahan maka wajib mengembalikan persoalan tersebut kepada al-Qur’an dan Hadist.
Masalah politik ini selanjutnya juga berhubungan dengan bentuk pemerintahan. Dalam sejarah kita mengenal berbagai bentuk pemerintahan seperti republik yang dipimpin presiden, kerajaan yang dipimpin raja, dan sebagainya. Islam tidak menetapkan bentuk pemerintahan tertentu, melainkan suatu pemerintahan yang mengatur tatanan kehidupan atas dasar kemanusiaan (kehendak bersama). Sehingga pemerintahan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejateraan, keamanan, kedamaian dan ketentraman masyarakat. Oleh karenanya setiap bangsa boleh saja menentukan bentuk negaranya masing-masing sesuai seleranya sesuai dengan kesepakatan bersama pemerintahan dan seluruh warga yang menghuni suatu negara tersebut[4]
Dalam ayat lainnya yaitu dalam surat Asyuura (42):38, yang menjelaskan tentang keadaan kaum muslim Madinah yang bersedia membela Nabi sebagai hasil kesepakatan dari proses musyawarah. Dalam ayat itu dijelaskan bahwa musyawarah telah menjadi tradisi masyarakat muslim pada waktu itu dalam memutuskan segala perkara mereka[5].  menurut Nurcholis Majid, deskripsi mengenai masyarakat orang-orang beriman, sebagai masyarakat musyawarah sedemikian mengesankannya bagi orang-orang muslim pertama,sehingga surat dalam Al-Quran yang memuat deskripsi itu disebut “Surah Syura” atau Musyawarah[6].


[1] Quraish shihab, Al-Misbah jilid 12, hal.. 511-513
[2] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialohkan Teks dan Konteks, (Yogyakarta:El-Saq Press, 2005) hal. 155
        
[3] Nina M. Armando dkk, Ensiklopedi Islam,  (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005) hal. 329-330
[4] Prof. Dr. H. Abuddi Nata, M.A, Metodologi Study Islam, (Jakarta:Rajawali Press, 2009) hal. 92

[5] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialohkan Teks dan Konteks,…hal. 155

[6] Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholis Majid, (Jakarta :Yayasan Abad Demokrasi, 2011) hal.209

Tidak ada komentar:

Posting Komentar