TAFSIR TENTANG HUBUNGAN ANTAR
GOLONGAN
(Q.S. AL-MUMTAHANAH:7-8)
1.
Q.S.
AL-MUMTAHANAH: 7-8
* Ó|¤tã ª!$# br& @yèøgs ö/ä3oY÷t/ tû÷üt/ur tûïÏ%©!$# NçF÷y$tã Nåk÷]ÏiB Zo¨uq¨B 4 ª!$#ur ÖÏs% 4 ª!$#ur Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÐÈ
w â/ä38yg÷Yt ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ã Îû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_Ìøä `ÏiB öNä.Ì»tÏ br& óOèdry9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍkös9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ
Artinya: 7. Mudah-mudahan Allah menimbulkan
kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. dan
Allah adalah Maha Kuasa. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
8. Allah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang Berlaku adil.
2.
MUFRADAT
Menjadikan :
@yèøgs
Maha kuasa :
Ïs%
Kamu melarang :/ä38yg÷Yt
Memerangimu :
Nä.qè=ÏG»s)ã
3.
ASBAB
AN-NUZUL
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Qatilah (seorang
kafir) datang kepada Asma’ binti Abi Bakr (anak kandunganya). Setelah itu Asma’
bertanya kepada Rasulullah SAW “ “bolehkah saya berbuat baik kepadanya?
Rasulullah menjawab ya boleh. Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa
tersebut, yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang berbuat baik kepada orang
yang tidak memusuhi agama Allah[1].
Dalam riwayat lain juga disebutkan:
Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari
Asma binti Abu Bakar berlata : saya dikunjungi oleh ibu kandungku (Siti
Qutailah). Setelah itu Asma bertanya kepada Rasulullah saw: bolehkah saya
berbuat baik kepadanya? Rasululah menjawab: ”ya” (boleh) Turunlah ayat ini yang
berkenaan dengan peristiwa tersebut yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang
berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi agama Allah. (HR. Bukhari dari
Asma binti Abu Bakar[2]
4.
PENJELASAN
AYAT
Ayat di atas masih
menerangkan tentang hukum bersikap loyal terhadap orang-orang kafir. Ketika
Allah mengharamkan hal ini, ternyata orang-orang beriman atau para sahabat ada
yang masih memiliki kerabat yang masih kafir. Pada sisi lain, Perintah untuk
memusuhi kaum kafir (non muslim) yang di uraikan oleh ayat-ayat sebelumnya
secara tersurat menunjukkan kesan bahwa semua non muslim harus dimusuhi. Karena
perintah dari iman dan sebagai bentuk taat terhadap panggilan Allah, para
sahabat akhirnya memutuskan hubungan kekerabatan dengannya. Kemudian Allah Swt
memberikan kabar gembira di dalam surat yang mulia ini bahwa Allah Maha Kuasa
untuk menjadikan di antara mereka dan kerabatnya yang kafir rasa saling
mencintai.
Allah Swt membebaskan
kota mekkah dengan tangan Rasul-Nya, kemudian para pendudukanya masuk Islam
semunya kecuali hanya beberapa orang saja yang menolak masuk Islam.
Sesungguhnya rasa cinta, sikap loyal dan persaudaraan di antara mereka adalah
bukti kebenaran Firman Allah:
عَسَى اللَّهُ أَنْ يَجْعَلَ
بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُمْ مِنْهُمْ مَوَدَّةً وَاللَّهُ قَدِيرٌ
وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴿سورة الممتحنة : ٧﴾
Artinya: “Mudah-mudahan Allah
menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara
mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (Q.S. al-Mumtahanah : 7)
Firman Allah (لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ
فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ) Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak
pula mengusir kamu dari negerimu, dengan bermacam-macam tekanan maka kamu
dibolehkan berbuat baik kepada mereka, seperti memberi makanan, pakaian, dan
kendaraan serta berbuat adil kepada mereka. Ayat ini bersifat umum, mencakup
seluruh waktu dan tempat terhadap semua orang kafir asalkan sesuai dengan
syarat-syarat yang telah disebutkan oleh Allah, yaitu[3]:
- Mereka tidak
memerangi kita atas nama Agama,
- Mereka tidak
mengusir kita dari kampung halaman kita. Misalnya, tidak mengintimidasi
kita sehingg menyebabkan kita berhijrah ke kampung lain, dan
- Tidak membantu
musuh-musuh kita dengan bantuan apapun, baik dengan ikut serta
bermusyawarah, menyumbangkan pikiran, apalagi dengan bantuan tenaga dan
senjata.
Sementara sebagian ulama
bermaksud membatasi ayat tersebut hanya ditunjukan kepada kaum musyrik mekah,
tetapi ulama-ulama sejak masa Ibn Jarir al-Thabari telah membantahnya. Thahir
Ibn Asyur menulis bahwa pada masa Nabi saw sekian banyak suku-suku Musyrik yang
justru bekerjasama dengan Nabi Saw serta menginginkan kemenangan beliau
menghadapi suku Quraiys di Mekkah. Berkata al-Hasan dan Abu Salib mereka itu
adalah Khuza’ah, Bani Al-Harist ibn Ka’ab dan Muzainah[4].
Firman Allah, (إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ) Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil. Potongan ayat ini merupakan anjuran untuk kaum Muslimin untuk senantiasa
berlaku adil walaupun terhadap orang-orang kafir. Allah Swt berfirman (إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu, yaitu Allah
melarang kamu bersikap loyal terhadap orang-orang yang memerangimu dan
mengusirmu dari kampong halamanmu dan ikut berperan dan membantu orang lain
dalam mengusirmu. (وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ) barangsiapa
yang menjadikan mereka (orang-orang kafir) sebagai kawan, maka mereka itulah
termasuk orang-orang yang dzalim terhadap diri mereka sendiri dan menghadang
siksa dan murka dari Allah karena telah meletakkan sikap loyal bukan pada
tempatnya setelah memahami dan mengetaui hukum-hukumnya[5].
Jadi, pandangan Islam yang
menentukan tentang problematika antara orang-orang yang beriman dan orang-orang
yang menantang mereka adalah akidah semata-mata. Islam menetapkan bahwa bahwa
nilai yang diusung setiap oleh mukmin dan harus dibela dengan mati-matian
dengan berperang sekalipun adalah perkara akidah semata-mata. Dengan semikian,
tidak ada permusuhan dan peperangan selama kebebasan dakwah dan kebebasan
berkenyakinan tetap dihormati[6].
5.
MUNASABAH
AYAT
6.
KESIMPULAN
[3] bu
Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Quran al-Aisar terj. Azhari
Hatim dan Mukti, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006), cet. I, hal. 401-402
[5] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Quran al-Aisar terj.
Azhari Hatim dan Mukti (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006), cet. I, hal.
401-402
[6] Sayyid
Quthb, Tafsir Fi’ Zhilalil Quran terj. As’ad Yasin, dkk.
(Jakarta: Gema Insani, 2004), cet. I, hal. 50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar