Rabu, 17 Juni 2015

Tafsir Ahkam

TAFSIR TENTANG HUBUNGAN ANTAR GOLONGAN
(Q.S. AL-MUMTAHANAH:7-8)

1.        Q.S. AL-MUMTAHANAH: 7-8
* Ó|¤tã ª!$# br& Ÿ@yèøgs ö/ä3oY÷t/ tû÷üt/ur tûïÏ%©!$# NçF÷ƒyŠ$tã Nåk÷]ÏiB Zo¨Šuq¨B 4 ª!$#ur ֍ƒÏs% 4 ª!$#ur Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÐÈ   žw â/ä38yg÷Ytƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ムÎû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_̍øƒä `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ br& óOèdrŽy9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍköŽs9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ  
Artinya: 7. Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. dan Allah adalah Maha Kuasa. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
8. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.

2.        MUFRADAT
Menjadikan                                                                                  : @yèøgs
Maha kuasa                                                                                  : ƒÏs%
Kamu melarang                                                                            :/ä38yg÷Ytƒ
Memerangimu                                                                              : Nä.qè=ÏG»s)ãƒ

3.        ASBAB AN-NUZUL
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Qatilah (seorang kafir) datang kepada Asma’ binti Abi Bakr (anak kandunganya). Setelah itu Asma’ bertanya kepada Rasulullah SAW “ “bolehkah saya berbuat baik kepadanya? Rasulullah menjawab ya boleh. Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi agama Allah[1].
Dalam riwayat lain juga disebutkan:
Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Asma binti Abu Bakar berlata : saya dikunjungi oleh ibu kandungku (Siti Qutailah). Setelah itu Asma bertanya kepada Rasulullah saw: bolehkah saya berbuat baik kepadanya? Rasululah menjawab: ”ya” (boleh) Turunlah ayat ini yang berkenaan dengan peristiwa tersebut yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi agama Allah. (HR. Bukhari dari Asma binti Abu Bakar[2]
4.        PENJELASAN AYAT
Ayat di atas masih menerangkan tentang hukum bersikap loyal terhadap orang-orang kafir. Ketika Allah mengharamkan hal ini, ternyata orang-orang beriman atau para sahabat ada yang masih memiliki kerabat yang masih kafir. Pada sisi lain, Perintah untuk memusuhi kaum kafir (non muslim) yang di uraikan oleh ayat-ayat sebelumnya secara tersurat menunjukkan kesan bahwa semua non muslim harus dimusuhi. Karena perintah dari iman dan sebagai bentuk taat terhadap panggilan Allah, para sahabat akhirnya memutuskan hubungan kekerabatan dengannya. Kemudian Allah Swt memberikan kabar gembira di dalam surat yang mulia ini bahwa Allah Maha Kuasa untuk menjadikan di antara mereka dan kerabatnya yang kafir rasa saling mencintai. 
Allah Swt membebaskan kota mekkah dengan tangan Rasul-Nya, kemudian para pendudukanya masuk Islam semunya kecuali hanya beberapa orang saja yang menolak masuk Islam. Sesungguhnya rasa cinta, sikap loyal dan persaudaraan di antara mereka adalah bukti kebenaran Firman Allah: 

عَسَى اللَّهُ أَنْ يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُمْ مِنْهُمْ مَوَدَّةً وَاللَّهُ قَدِيرٌ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴿سورة الممتحنة : ٧﴾ 

Artinya: “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. al-Mumtahanah : 7) 

Firman Allah (لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ) Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu, dengan bermacam-macam tekanan maka kamu dibolehkan berbuat baik kepada mereka, seperti memberi makanan, pakaian, dan kendaraan serta berbuat adil kepada mereka. Ayat ini bersifat umum, mencakup seluruh waktu dan tempat terhadap semua orang kafir asalkan sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh Allah, yaitu[3]:
  1. Mereka tidak memerangi kita atas nama Agama,
  2. Mereka tidak mengusir kita dari kampung halaman kita. Misalnya, tidak mengintimidasi kita sehingg menyebabkan kita berhijrah ke kampung lain, dan 
  3. Tidak membantu musuh-musuh kita dengan bantuan apapun, baik dengan ikut serta bermusyawarah, menyumbangkan pikiran, apalagi dengan bantuan tenaga dan senjata. 
Sementara sebagian ulama bermaksud membatasi ayat tersebut hanya ditunjukan kepada kaum musyrik mekah, tetapi ulama-ulama sejak masa Ibn Jarir al-Thabari telah membantahnya. Thahir Ibn Asyur menulis bahwa pada masa Nabi saw sekian banyak suku-suku Musyrik yang justru bekerjasama dengan Nabi Saw serta menginginkan kemenangan beliau menghadapi suku Quraiys di Mekkah. Berkata al-Hasan dan Abu Salib mereka itu adalah Khuza’ah, Bani Al-Harist ibn Ka’ab dan Muzainah[4].

Firman Allah, (إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ) Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Potongan ayat ini merupakan anjuran untuk kaum Muslimin untuk senantiasa berlaku adil walaupun terhadap orang-orang kafir. Allah Swt berfirman (إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu, yaitu Allah melarang kamu bersikap loyal terhadap orang-orang yang memerangimu dan mengusirmu dari kampong halamanmu dan ikut berperan dan membantu orang lain dalam mengusirmu. (وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ) barangsiapa yang menjadikan mereka (orang-orang kafir) sebagai kawan, maka mereka itulah termasuk orang-orang yang dzalim terhadap diri mereka sendiri dan menghadang siksa dan murka dari Allah karena telah meletakkan sikap loyal bukan pada tempatnya setelah memahami dan mengetaui hukum-hukumnya[5].

Jadi, pandangan Islam yang menentukan tentang problematika antara orang-orang yang beriman dan orang-orang yang menantang mereka adalah akidah semata-mata. Islam menetapkan bahwa bahwa nilai yang diusung setiap oleh mukmin dan harus dibela dengan mati-matian dengan berperang sekalipun adalah perkara akidah semata-mata. Dengan semikian, tidak ada permusuhan dan peperangan selama kebebasan dakwah dan kebebasan berkenyakinan tetap dihormati[6].

5.        MUNASABAH AYAT
6.        KESIMPULAN




[1] K.H.Q. Shaleh, dkk. Asbabun Nuzul. (Bandung: Diponegoro.2007). cet.ke  9. Hal. 563

[2] ibid
[3] bu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Quran al-Aisar terj. Azhari Hatim dan Mukti, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006), cet. I, hal. 401-402
[4] Mustahfa Maraghi, Tafsir Maraghi (Semarang: Toha Putra, 1992), Cet. II, JIlid 28, hal. 112
[5] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Quran al-Aisar terj. Azhari Hatim dan Mukti (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006), cet. I, hal. 401-402
[6] Sayyid Quthb, Tafsir Fi’ Zhilalil Quran terj. As’ad Yasin, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2004), cet. I, hal. 50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar