TAFSIR TENTANG MUSYAWARAH
(Q.S. As-Syura:38)
1.
Q.S.
As-Syura:38
tûïÏ%©!$#ur
(#qç/$yftGó$#
öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur
no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur
3uqä© öNæhuZ÷t/
$£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã
ÇÌÑÈ
Artinya: dan (bagi) orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
2.
Mufradat
اسْتَجَابُوا
: Penerimaan yang sangat tulus, tidak disertai oleh sedikit keraguan atau
kebencian.
لِرَبِّهِمْ
: Benar-benar memenuhi seruan Tuhan mereka.
أَمْرُهُمْ
: Amruhum/ urusan mereka menunjukkan bahwa yang mereka musyawarahkan adalah
hal-hal yang berkaitan dengan urusan mereka serta yang berada dalam wewenang
mereka.
شُورَى : Mengambil dan mengeluarkan
pendapat yang terbaik dengan memperhadapkan satu pendapat dengan pendapat yang
lain.
3.
Penjelasan
ayat
Ayat di atas
menyatakan: Dan kenikmatan abadi itu disiapkan juga bagi orang-orang yang
benar-benar memenuhi seruan Tuhan mereka melaksanakan shalat secara bersinambung dan
sempurna, yakni sesuai rukun serta syaratnya juga dengan khusyu’ kepada Allah,
dan semua urusan yang berkaitan dengan masyarakat mereka adalah musyawarah antara mereka yakni
mereka memutuskannya melalui musyawarah, tidak ada di antara mereka yang
bersifat otoriter dengan memaksakan pendapatnya; dan disamping itu mereka juga
dari sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka baik harta maupun
selainnya, mereka senantiasa nafkahkan secara tulus serta bersinambung baik
nafkah wajib maupun sunnah[1].
Ayat-ayat di
atas adalah ayat menjelaskan tentang musyawarah yang saling memiliki korelasi,
bahwasanya al-Qur’an menegaskan perkara apapun yang menyangkut dalam kebaikan,
baik mengenai persoalan rumah tangga, persoalan kepemimpinan dan politik, harus
diselesaikan dengan jalan musyawarah. Seperti dalam ayat tentang menyapih anak.
Ayat ini sebagai petunjuk agar persoalan-persoalan rumah tangga dimusyawarahkan
bersama antara suami dan istri, ayat yang senada dengan ayat tersebut ialah Q.S
at-Thalaq 65:6 وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ meskipun dengan kata وَأْتَمِرُوا
(berembuklah) yang melahirkan kata “Muktamar”[2]
Sedangkan
dalam hal kepemimpinana surat Ali-‘Imraan (3) ayat 159, ayat yang diperuntukan
bagi nabi SAW yang selain sebagai penyampai risalah, Rasulullah juga
memiliki peran legitimasi politik sebagai seorang imam untuk melaksanakan musyawarah,
ayat ini juga sekaligus perintah yang mensyari’atkan musyawarah. Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir at-Thabari, dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan bahwa
sesungguhnya Allah SWT memerintahkan nabi SAW untuk bermusyawarah dengan
umatnya tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka mengetahui hakikat
urusan tersebut dan agar mereka mengikuti jejaknya.
Namun
kewajiban melaksanakan musyawarah bukan hanya dibebankan untuk Nabi saja
melainkan juga kepada umatnya secara menyeluruh. Dalam masyarakat moderen yang
ditandai dengan munculnya lembaga politik dan pemerintahan, lembaga ini menjadi
subjek musyawarah, para pemimpinnya di bebani kewajiban melakasanakan
musyawarah dengan melibatkan para anggotanya atau rakyat untuk membicarakan
masalah yang mereka hadapi[3].
Al-Qurtubi (W.
9 Syawal 671) seorang mufassir yang menukil dari Ibnu Atiah, menulis:
“Musyawarah adalah salah satu kaidah syara dan ketentuan hukum yang harus
ditegakan. Maka barang siapa yang menjabat sebagai kepala negara, tetapi ia
tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama maka ia harus dipecat.
Mengenai objek
musyawarah ini at-Tabari, Fahruddin ar-Razi, Muhammad Abduh dan al-Maraghi
berpendapat bahwa yang dimusyawarahkan ialah mengenai segala macam permasalahan
baik itu berkenaan dengan masalah keagamaan dan permasalahan dunia. Sebab untuk
saat ini banyak timbul masalah sosial, politik, ekonomi, pemerintahan, keluarga
dan sebagainya yang pemecahannya membutuhkan jawaban dari agama. Dengan ayat
tersebut islam menjadikan Syurasebagai
prinsip utama dalam menyelesaikan masalah sosial, politik, dan pemerintahan. Syuramerupakan suatu cara untuk
memberi kesempatan bagi anggota masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam
membuat suatu keputusan yang bersifat mengikat. baik dalam bentuk hukum dan
kebijakan politik.
Selanjutnya
Ayat tersebut masih memilki korelasi hubungan dengan surat an-Nisa ayat 59 yang
menjelaskan kewajiban menaati perintah ulil ‘amri, termasuk penguasa dibidang
politik, pemerintahan dan negara. Tetapi di sisi lain Ayat ini juga
menjelaskan batasan ketaatan terhadap ‘ulil amri bahwasanya Islam tidak
mengajarkan ketaatan buta terhadap pemimpin. Islam menghendaki suatu ketaatan
kritis, yaitu ketaatan yang didasarkan pada tolak ukur kebenaran dari tuhan.
Jika pemimpin tersebut berpegang teguh pada tuntunan Allah dan Rasulnya maka
wajib ditaati. Sebaliknya, jika pimpinan tersebut bertentangan dengan kehendak
Allah dan Rasulnya, boleh dikritik atau diberi saran agar kembali kepada jalan
yang benar dengan cara-cara yang persuasif. Dan jika cara tersebut juga tidak
dihiraukan oleh pimpinan tersebut, boleh saja tidak untuk dipatuhi. Selain itu
ayat ini juga menegaskan bahwa jika terjadi perselisihaan dalam suatu persoalan
antara pimpinan dan bawahan maka wajib mengembalikan persoalan tersebut kepada
al-Qur’an dan Hadist.
Masalah
politik ini selanjutnya juga berhubungan dengan bentuk pemerintahan. Dalam
sejarah kita mengenal berbagai bentuk pemerintahan seperti republik yang
dipimpin presiden, kerajaan yang dipimpin raja, dan sebagainya. Islam tidak
menetapkan bentuk pemerintahan tertentu, melainkan suatu pemerintahan yang
mengatur tatanan kehidupan atas dasar kemanusiaan (kehendak bersama). Sehingga
pemerintahan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menegakkan keadilan,
kemakmuran, kesejateraan, keamanan, kedamaian dan ketentraman masyarakat. Oleh
karenanya setiap bangsa boleh saja menentukan bentuk negaranya masing-masing
sesuai seleranya sesuai dengan kesepakatan bersama pemerintahan dan seluruh
warga yang menghuni suatu negara tersebut[4]
Dalam ayat
lainnya yaitu dalam surat Asyuura (42):38, yang menjelaskan tentang keadaan
kaum muslim Madinah yang bersedia membela Nabi sebagai hasil kesepakatan dari
proses musyawarah. Dalam ayat itu dijelaskan bahwa musyawarah telah menjadi
tradisi masyarakat muslim pada waktu itu dalam memutuskan segala perkara mereka[5].
menurut Nurcholis Majid, deskripsi mengenai masyarakat orang-orang beriman,
sebagai masyarakat musyawarah sedemikian mengesankannya bagi orang-orang muslim
pertama,sehingga surat dalam Al-Quran yang memuat deskripsi itu disebut “Surah
Syura” atau Musyawarah[6].
[1] Quraish shihab, Al-Misbah
jilid 12, hal.. 511-513
[2] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir
Sosial Mendialohkan Teks dan Konteks, (Yogyakarta:El-Saq Press, 2005) hal.
155
[3] Nina M. Armando dkk, Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005) hal. 329-330
[4] Prof. Dr. H. Abuddi Nata, M.A, Metodologi Study Islam, (Jakarta:Rajawali
Press, 2009) hal. 92
[5] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir
Sosial Mendialohkan Teks dan Konteks,…hal. 155
[6] Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi
Nurcholis Majid, (Jakarta :Yayasan Abad Demokrasi, 2011) hal.209
Tidak ada komentar:
Posting Komentar