Rabu, 17 Juni 2015

Tafsir Ahkam

TAFSIR TENTANG KEWAJIBAN MNEGAKKAN KEADILAN
(Q.S. AL-BAQARAH: 282)
1.        Q.S. AL-BAQARAH: 282
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u Ÿwur ó§yö7tƒ çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 Ÿwur z>ù'tƒ âä!#ypk9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4 Ÿwur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·ŽÉó|¹ ÷rr& #·ŽÎ7Ÿ2 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºsŒ äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤=Ï9 #oT÷Šr&ur žwr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouŽÅÑ%tn $ygtRr㍃Ïè? öNà6oY÷t/ }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ žwr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sŒÎ) óOçF÷ètƒ$t6s? 4 Ÿwur §!$ŸÒムÒ=Ï?%x. Ÿwur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãƒur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇËÑËÈ  
Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

2.        MUFRADAT KATA-KATA SULIT
Bermuamalah                                                                               : LäêZtƒ#ys?
çhendaknya kamu menuliskannya                                                 : nqç7çFò2$$sù 4

3.        PENJELASAN AYAT
Mengawali ayat tersebut, Allah SWT. berfirman: 
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù
(“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”) 
Dalam penafsiran ini, tadaayantum diartikan dengan muamalah karena  utang piutang merupakan perbuatan sosial manusia yang di dalamnya terlibat debitor (pemberi utang) dan kreditor (orang yang berutang).
Ayat tersebut, Allah SWT. menuntun hamba-Nya yang mukmin, jika mereka bermuamalah hutang piutang hendaknya ditulis supaya jelas jumlahnya, waktunya, dan memudahkan untuk persaksian.
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan hutang piutang yang terjamin, jelas masanya dan telah dihalalkan oleh Allah SWT. Beliau juga mengatakan, ketika Rasulullah SAW. sampai di kota Madinah dijumpai di sana orang biasa meminjamkan buah untuk setahun, dua tahun atau tiga tahun. 
Pada akhir ayat di atas “hendaklah kamu menuliskannya”, Ibnu Katsir memahami perintah menulis di sini hanya merupakan petunjuk ke jalan yang baik dan terjaminnya keselamatan yang diharapkan, bukan perintah wajib. Ibnu Juraij berkata, “pada mulanya perintah menulis itu wajib, kemudian kewajiban itu di-nasakh dengan ayat 283 QS. Al-Baqarah artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunaisedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”. Di akhir ayat tersebut nyata bahwa tidak ada tulis menulis lanjut Ibnu Juraij[1]
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù
(Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Maksudnya, jika kamu sedang bepergian, sedangkan kamu tidak menemukan seseorang yang pandai mencatat transaksi hutang piutang, atau kamu tidak memperoleh kertas dan tinta untuk menulis, maka hendaklah kamu meminta bukti kepercayaan dengan barang jaminan yang dapat di pegang[2].
=çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u Ÿwur ó§yö7tƒ çm÷ZÏB $\«øx© 4
 Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Yakni, jika kebetulan orang-orang yang bersangkutan itu mempercayai penuh kepada masing-masingnya, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya dengan sempurna di waktu yang elah ditentukan. Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, jangan ia mengkhianati amanahnya[3].
Ÿwur z>ù'tƒ âä!#ypk9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ

Janganlah kalian membangkang tidak menunaikan kesaksian apabila dibutuhkan. Maka, maka siapa saja yang telah membangkang maka ia telah berbuat dosa. Pengunkapan kalimat di sini ditekankan pada hati. Maka dinisbatkan dosa kepadanya, untuk menarik hubungan atara penyembunyian dosa dan penyembunyian persaksian, yang kedua-duanya merupakan perbuatan yang terjadi dilubuk hati[4]. Dipikulkan dosa atas jiwa (baca: hati) karena jiwalah yang mengingat segala kejadian, dialah alat rasa dan akal. Menyembunyikan pensaksian dan menyembunyikan dosa, adalah dari alam dlamir. Dan dosa itu sebagaimana menjadi pekerjaan anggota juga menjadi pekerjaan hati[5]
Di dalam Tafsir Al-Maraghi di terangkan bahwa, rahasia yang terkandung dalam penegasan ini, karena para penulis dan saksi sebenarnya adalah orang-orang yang membantu terpeliharanya harta orang lain. Kepercayaan ini hendaknya tidak diremehkan oleh mereka. Hal ini diwajibkan pula atas orang-orang yang mempunyai harta, hendaknya menjaga kemashlahatan antara mereka dengan yang mempunyai harta secara bersama-sama[6]. Kesaksian atau tulisan (sebagai bukti) keduanya merupakan aturan yang disyariatkan untuk memperkuat pertalian antara orang yang member utang dengan orang yang berutang[7].
Sementara menurut Abu Ja’far, sebagaimana di kutip oleh Ath-Thabari di dalam Tafsirnya, berkata bahwa ayat tersebut adalah seruan dari Allah Ta’ala pada para saksi yang di perintah oleh orang yang berhutang piutang dan pemilik uang untuk menyaksikan transaksi mereka. Allah Ta’ala berfirman kepada mereka; Janganlah para saksi merasa enggan jka mereka di panggil dan janganlah kalian, wahai para saksi janganlah kalian menyembunyikan kesaksian setelah kalian bersaksi di sisi hakim, tetapi berilah kesaksian orang yang kalian saksikan jika dia memanggil kalian untuk bersaksi atas sengketa pada barangnya di sisi hakim terhadap orang yang mengambil haknya. Kemudian Allah Ta’ala member tahu saksi apa balasannya jika dia menyembunyikan kesaksian dan enggan untuk melaksanakannya ketika orang yang meminta kesaksian memerlukannya di sisi hakim atau sulthan[8].
Sementara Imam Syafii dalam menafsirkan ayat ini, beliau berkata;” pendapat para ulama yang aku terima berkenaan ayat-ayat ini adalah bahwa ayat ini berbicara tentang saksi. Seorang saksi harus memberikan kesaksian. Dia wajib memberikan kesaksian untuk memberikan kesaksian untuk kedua orang tuanya, anak, saudara dekat, saudara jauh, dan atas orang yang di bencinya (baik dekat maupun jauh). Seorang saksi tidak boleh mengistimewakan atau menghalangi seseorang dan menyembunykan informasi yang terkait dengan kasusnya[9].
3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Maksudnya adalah bahwa Allah Ta’ala Maha mengetahui apa yang kalian lakukan dalam hal menjalankan kesaksian kalian dari mendirikannya, melakukannya atau menyembunyikannya saat orang yang meminta kesaksian memerlukannya, Dia Maha Mengetahui perbuatan rahasia dan terang-teangan yang kalian lakukan. Dia akan menghitungnya untuk member kalian balasan, bisa berupa kebaikan, bisa berupa kejahatan tergantung pada kelayakan kalian[10].
4.        MUNASABAH AYAT
Hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya mempunyai keterikatan yang sangat erat sekali, bahkan di dalam Tafsir al-Maraghi ayat 282 dan 283 di sandingkan dalam menjelaskannya. Di dalam kedua ayat tersebut Allah menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengna menulis utang,membuat saksi, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan muamalah. Di samping itu, mengambil jaminan apabila tidak ada saksi atau orang yang menuliskan utang[11].
Jadi dapat di simpulkan bahwa ayat 283 surat al-Baqarah ini merupakan ayat yang menjelaskan dasar-dasar dalam bermuamalah sebagaimana juga dengan ayat sebelumnya. Namun, meskipun sama-sama menjelaskan dasar kemuamalahan antara ayat 282 dan 283 memiliki perbedaan yang menonjol.
Dalam ayat 282 memuat kewajiban menulis,mengadakan saksi dan mengambil jaminan, adalah suatu ketetapan asal di dalam upaya memelihara muamalah utang piutang. Dan di dalam ayat 283 ini menunjukan rukhshah, bahwa Allah Swt. Membolehkan kita—ketika dalam keadaan darurat—dengan tidak memakai ketentuan-ketentuan yang tidak disebutkan oleh ayat-ayat sebelumnya, seperti dalam waktu ketika penulis dan saksi tidak ada. Apabila seseorang hendak member utang kepada orang lain dalam keadaan seperti ini, maka Allah tidak mengharamkan padanya untuk melangsungkan hajatnya dan memenuhi kebutuhannya jika ia percaya padanya, meski tidak ada saksi dan juru tulisnya[12].
Ayat 282 dan 283 juga merupakan lanjutan keterangan ayat-ayat yang lalu. Pada ayat-ayat yang lalu Allah Swt. Menerangkan keutamaan sedekah dan keutamaan menafkahkan harta di jalan Allah Swt. Menerangkan keutamaan sedekah dan menafkahkan harta di alan Allah yang timbul darihati sanubari, semata-mata karena Allah, dan dilandasi dengan rasa kasih saying terhadap sesame manusia. Selanjutnya Allah melarang riba dan menerangkan keburukannya, karena riba itu semata-mata dilakukan untuk mencari keuntungan, tanpa mengindahkan kesulian dan kesukaran orang lain. Pada ayat ini Allah Swt. Menerangkan ketentuan-ketentuan dalam muamalah yang di dasarkan keadilan dan kerelaan masing-masing pihak, sehingga menghilangkan keragu-raguan, sak wasangka dan sebagainya[13].
5.        KESIMPULAN
Kesaksian dari seseorang adalah fardhu ‘ain bagi orang yang memikulnya bila dia di panggil untuk itu dan dikhawatirkan kebenaran akan hilang: bahkan wajib apabila dikhawatirkan lenyapnya kebenaran meskipun dia tidak dipanggil untuk itu. Memberikan keterangan palsu ketika menjadi seorang saksi sangat di larang sekali oleh agama,hal itu dikarenakan apa yang di ucapkannya akan berpengaruh besar kepastian hokum si terdakwa, apakan mendapaatkan hukuman yang berat atau yang ringan atau bahkan mungkin di lepaskan dari jeratan hukuman.
Seseorang yang melakukan kebohongan ketika bersaksi di golongkan sebagai orang yang memberikan kumpulan dosa hati dari orang tersebut. Karena jiwalah yang mengingat segala kejadian, dialah alat rasa dan akal. Menyembunyikan pensaksian dan menyembunyikan dosa, adalah dari alam dlamir. Dan dosa itu sebagaimana menjadi pekerjaan anggota juga menjadi pekerjaan hati.
Apabila seseorang tersebut terbukti melakukan persaksian palsu saksi maka dia harus di Ta’zir (di beri sanksi disiplin) dengan sesuatu yang membuatnya kapok dan menjadi ibrah bagi orang yang diajak jiwanya untuk berbuat seperti itu.
     



[1] Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, Surabaya : PT. Bina Ilmu, cetakan keempat, 2004, Hlm. 557

[2] Syekh Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tarjamah Tafsir Al-Maraghi, Juz 3, (Bandung: CV Rosda, 1987), hlm. 98
[3] Hasbi Ash-Shiddiqeqy, Tafsir An-Nur, Juz 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965) hlm. 89
[4] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, jil. 2 (Jakarta: Gema Insani Pers, 2000), hlm. 302
[5] Tafsir An-Nur, hlm 89
[6] Tasir Al-Maraghi., hlm. 137
[7] Ibid.hlm. 138
[8] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tasir Ath-Thabari, jil. 4, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) hlm. 841
[9] yaikh Ahmad Musthafa al-Farram, Tafsir Imam Syafii, (Jakarta: Al-Mahira, 2008), hlm. 526
[10] Tafsir Ath-Thabari, hlm. 842
[11] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jil. 3. (Semarang: CV Toha Putra, 1986), hlm. 125
[12] Ibid. 136-137
[13] Alqur’an dan Tafsirnya, jil 1, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara penterjemah/penagsiran al-Qur’an, 1975), hlm. 518

Tidak ada komentar:

Posting Komentar